Silang pendapat ini karena tidak ada satu pun ayat atau hadis yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan, apalagi berupa nash yang menyatakan demikian. Bahkan, ayat-ayat dan hadis-hadis yang biasa dijadikan argumen oleh para ulama yang mensyaratkan wali masih mengandung kemungkinan-kemungkinan.
Begitu juga ayat-ayat dan hadis-hadis yang biasa dijadikan dasar oleh para ulama yang tidak mensyaratkan wali juga mengandung kemungkinan-kemungkinan. Selain itu, hadis tersebut kesahihannya juga diperselisihkan oleh para ulama, kecuali hadis Ibnu Abbas.
Di antara alasan yang paling jelas mengacu pada Alquran tentang disyaratkannya wali dalam firman Allah di surah al-Baqarah ayat 232, "Apabila kamu hendak menalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka nikah lagi dengan calon suaminya."
Kata “mereka” dalam ayat tersebut ditujukan kepada para wali. Jika dianggap tidak memiliki hak perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalanginya. Dalam firman Allah surah al-Baqarah ayat 221 disebutkan, “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum kamu beriman.”
Kata “mereka” dalam ayat tersebut ditujukan kepada para wali. Dan di antara hadis-hadis terkenal yang dijadikan dasar oleh mereka ialah hadir yang diriwayatkan az-Zuhri bersumber dari Urwah dari Sayyidah Aisyah yang berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Setiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Dan kalau ia sudah digauli, maka maskawinnya adalah berdasarkan apa yang telah didapat darinya. Dan kalau mereka berselisih, maka penguasa adalah wali wanita yang tidak punya wali sama sekali."
Adapun ulama yang berpendapat tidak mensyaratkan wali mengemukakan dalil dari Alquran surah al-Baqarah ayat 234, “Tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut." Berdasarkan pandangan mereka, ayat ini merupakan dalil bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri.