Kamis 27 Jun 2024 14:25 WIB

Israel Diprediksi Jatuh dalam Kubangan Perang Saudara, Ini Analisisnya

Seiring berjalan waktu, tuntutan mereka beralih menjadi perubahan rezim.

Protes melawan kebijakan Benjamin Netanyahu di Israel
Foto: AP Photo/Ariel Schalit
Protes melawan kebijakan Benjamin Netanyahu di Israel

REPUBLIKA.CO.ID, TELAVIV -- Pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 18 Juni 2024 lalu yang mengatakan, "Tidak akan ada perang saudara" di Israel patut diuji kebenarannya. Tensi politik yang terjadi di lapangan membuktikan sebaliknya. 

Ramzy Baroud, editor senior Palestine Chronicle dalam artikelnya bertajuk The Altalena Affair: Is Israel Heading toward a Civil War? yang dimuat pada Rabu (26/6/2024) menyajikan kronologi bagaimana Israel bisa terjatuh di dalam perang saudara. 

Baca Juga

Baroud mengatakan, pernyataan Netanyahu ini dibuat dalam konteks meningkatnya protes populer di Israel, terutama setelah pengunduran diri beberapa Menteri Kabinet Perang Israel yang telah lama diantisipasi, termasuk Benny Gantz dan Gadi Eisenkot - keduanya adalah mantan kepala staf tentara Israel.

Pengunduran diri ini tidak serta merta mengisolasi Netanyahu, karena popularitas pimpinan Partai Likud ini hampir sepenuhnya bergantung pada dukungan dari sayap kanan. Namun, langkah ini semakin menggambarkan perpecahan yang mendalam dan terus berkembang dalam masyarakat Israel, yang pada akhirnya dapat membawa negara ini dari kondisi pergolakan politik ke kondisi perang saudara yang sebenarnya.

Menurut Baroud, perpecahan di Israel tidak dapat dilihat dengan cara yang sama seperti polarisasi politik lainnya yang saat ini marak terjadi di negara-negara demokrasi Barat. Penegasan ini tidak harus dikaitkan dengan pandangan yang sah bahwa, pada intinya, Israel bukanlah negara demokrasi yang sebenarnya, melainkan karena fakta bahwa formasi politik Israel itu unik.

Baroud merunut kisah yang dimulai jauh sebelum perang Gaza saat ini. Pada Februari 2019, para pemimpin dari tiga partai Israel membentuk sebuah koalisi, Kahol Lavan, atau 'Biru dan Putih'. Dua pendiri Kahol Lavan, Gantz dan Moshe Ya'alon, juga merupakan tokoh militer, yang dihormati secara luas di kalangan militer yang berkuasa di negara itu, dan masyarakat luas. Meskipun mereka relatif sukses dalam pemilu, mereka masih gagal menggulingkan Netanyahu dari jabatannya. Jadi, mereka turun ke jalan.

Membawa konflik ke jalan-jalan di Tel Aviv dan kota-kota lain di Israel adalah keputusan yang tidak dibuat dengan mudah. Hal ini terjadi setelah runtuhnya koalisi pemerintah yang aneh, yang disusun oleh semua musuh Netanyahu. Mereka bersatu dengan satu tujuan untuk mengakhiri kekuasaan sayap kanan dan sayap kiri di negara itu. Kegagalan Naftali Bennet hanyalah yang terakhir.

Istilah 'kanan' dan 'sayap kanan' mungkin memberi kesan bahwa konflik politik di Israel pada dasarnya bersifat ideologis. Meskipun ideologi memang berperan dalam politik Israel, kemarahan terhadap Netanyahu dan sekutunya sebagian besar dimotivasi oleh perasaan bahwa kelompok kanan baru di Israel berusaha untuk mengkonfigurasi ulang sifat politik negara tersebut.

Karena itu, mulai Januari 2023, ratusan ribu warga Israel melancarkan protes massal yang belum pernah terjadi sebelumnya yang berlangsung hingga dimulainya perang Israel di Gaza. Tuntutan kolektif awal para pengunjuk rasa, yang didukung oleh Gantz dan kelompok yang ada di militer Israel dan para elit liberal, adalah untuk mencegah Netanyahu mengubah keseimbangan politik kekuasaan yang telah mengatur masyarakat Israel selama 75 tahun terakhir. Seiring berjalannya waktu, tuntutan tersebut berubah menjadi nyanyian kolektif perubahan rezim.

Meskipun masalah ini banyak dibahas di media sebagai keretakan politik yang diakibatkan oleh keinginan Netanyahu untuk meminggirkan lembaga peradilan Israel karena alasan pribadi, akar dari peristiwa tersebut, yang mengancam terjadinya perang saudara, cukup berbeda.

Kisah perang saudara sama tuanya dengan negara Israel...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement