Senin 17 Jun 2024 12:20 WIB

Mengapa Israel, Arab Saudi, dan Mesir Takut dengan Gerakan Hamas?

Hamas didirikan Syekh Ahmad Yasin untuk melawan Zionis Israel

Pejuang Qassam sayap militar Hamas. Hamas didirikan Syekh Ahmad Yasin untuk melawan Zionis Israel
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Pejuang Qassam sayap militar Hamas. Hamas didirikan Syekh Ahmad Yasin untuk melawan Zionis Israel

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Seperti ditulis The Economist (19/12/92), Israel, PLO, Arab Saudi, dan Mesir, kini sama-sama takut menghadapi kebangkitan ''fundamentalisme'' Islam. Mengapa? 

''Islam verus Israel''. Itulah salah satu judul berita majalah The Economist yang melaporkan peristiwa pendeportasian lebih dari 400 warga Palestina aktivis Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiya, Gerakan Perlawanan Islam) oleh pemerintah Israel, 17 Desember lalu 1993. 

Baca Juga

Sebelumnya, Tel Aviv menangkap sekitar 1.200 aktivis Hamas yang dituduh telah menculik dan menewaskan lima serdadu Israel. Serdadu Israel terakhir yang diculik dan dieksekusi adalah Sersan Mayor Nissim Toledano. Ia dieksekusi oleh milisi Qassam, sayap militer Hamas, setelah Tel Aviv menolak membebaskan Syekh Ahmad Yasin (pendiri dan pemimpin spiritual Hamas).

Peristiwa pendeportasian warga Palestina itu dengan segera mendapat liputan luas dari berbagai media massa internasional. Dan, secara tidak langsung, mengangkat kembali nama kelompok Hamas. 

Bermula dari Ikhwanul Muslimin Dua gerakan Islam besar yang aktif di daerah-daerah pendudukan adalah Ikhwanul Muslimin dan Gerakan Jihad Islam (IJM, Islamic Jihad Movement), keduanya mendapat dukungan luas di Gaza.

Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, popularitas dan pengaruh gerakan Islam meningkat, baik di Gaza maupun Tepi Barat, sejalan dengan kecenderungan serupa di negara-negara Islam Timur Tengah, berkaitan dengan kemenangan revolusi Islam di Iran (lihat, Helena Cobban, ''The PLO and the Intifada', The Middle East Journal, Spring 1990).

Ikhwan didirikan di Kairo pada 1928. Ketika pecah perang Arab-Israel 1948, banyak anggota Ikhwan bergabung dengan pasukan Arab. Sesudah perang usai, sebagian dari mereka tetap tinggal di Gaza dan membangun jaringan di kalangan penduduk lokal.

Yang menarik, sebagian warga Gazay yang direktur atau bekerjasama dengan Ikhwan, kemudian justru jadi pemimpin gerakan komunis lokal, dan sebagian lagi ikut membentu organisasi Al-Fatah yang nasionalis-sekuler (lihat bagan). Tapi sebagian besar masih tetap setia pada induk organisasi Ikhwan di Mesir, dan lebih memusatkan kegiatannya di bidang sosial dan pendidikan.

Berbagai publikasi terbitan Ikhwan secara konsisten menekankan bahwa seluruh wilayah Palsetina termasuk Israel kini merupakan tanah Islam (an Islamic Land), dan tak satu inci pun boleh diberikan apda kaum Yahudi. Bagi mereka hanya ada satu jalan untuk merebut kembali wilayah Palestina, yaitu jihad. Mereka juga menentang bentuk-bentuk sekuler nasionalisme Palestina.

Akhir 1970-an dan awal 1980-an terjadi sejumlah konflik (politik maupun fisik) antara Ikhwal dan kaum nasionalis-sekuler, termasuk dalam memperebutkan kursi lembaga-lembaga sosial dan kemahasiswaan di sejumlah universitas di Gaza.

Pada 1979, para pemimpin Fatah dikabarkan bertanggungjawab atas meningkatnya tentangan terhadap Ikhwan, dengan mendukung Gerakan Jihad Islam (IJM) yang memisahkan diri dari Ikhwan pertengahan 1960-an. Pemimpin IJM, Shaiykh Abdul Aziz, juga dosen di Universitas Islam Gaza, ditahan pada 15 November 1987 dan dideportasi ke Lebanon.

Kendati tak sejalan dengan Fatah, IJM masih bisa bekerjasama dengan kelompok nasionalis-sekuler itu, bahkan pertengahan IJM dan Ikhwan jauh lebih tajam. Ini misalnya nampak dari kesediaan IJM masuk dalam UNL (Unified National Leadership of the Uprising).

UNL yang dibentuk beberapa hari sesudah terjadinya intifada, terdiri dari: Fatah, PFLP (Popular Front or the Liberation of Palestine), DFLP (Democratic Front for the Liberation of Palestine), PCP (Palestine Communist Party) dan IJM. Tujuan utama pembentukan UNL untuk mengkoordinasikan intifada, yang berkobar sejak 9 Desember 1987.

Salah seorang pemimpin IJM di Gaza, Juli 1989, mengatakan bahwa antara uNL dan kelompoknya tak ada perbedaan dalam hal perlunya koordinasi untuk meneruskan intifada. Tetapi IJM, katanya, akan berjuan gmelawan PLO dengan cara-cara demokratis sesudah terbentuknya negara Palestina. Ia menggambarkan dua tujuan IJM.

Pertama, tujuan jangka pendek. Yaitu, mengeliminir pendudukan Israel dan mendirikan ''negara mini'' Palestina di wilayah pendudukan. Karena itu IJM bisa bekerjasama dengan PLO dan PFLP yang ultranasionalis. Kedua, tujuan jangka panjang, mendirikan sebuah negara Islam di seluruh tanah Palestina (termasuk Israel sekarang).

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement