REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibnu Khaldun (1332-1406) merupakan seorang cendekiawan penting dalam sejarah keemasan Islam. Ilmuwan itu berjulukan “Bapak Sosiologi” karena kontribusinya dalam merintis disiplin tersebut. Salah satu karya monumentalnya adalah Kitab al-‘Ibar.
Bagian awal buku tersebut berjudul “Muqaddimah.” Di dalamnya, Ibnu Khaldun menerangkan topik-topik utama ilmu sosial. Di antara pembahasannya adalah berbagai penyebab runtuhnya suatu masyarakat.
Faktor internal
Bangun dan jatuhnya sebuah peradaban dapat dilandasi banyak hal. Bagaimanapun, Ibnu Khaldun cenderung berkeyakinan, faktor internal lebih besar daripada eksternal dalam memicu kehancuran masyarakat.
Sebuah negeri boleh jadi menghasilkan banyak pencapaian dalam pembangunan fisik. Namun, hal itu tidak berarti kemajuan kalau penduduk setempat mengalami dekadensi moral. Sarjana Muslim tersebut menekankan pentingnya kualitas sumber daya insani di atas kekayaan materiel.
Tumpulnya hukum
Menurut Ibnu Khaldun, perbuatan maksiat yang dilakukan orang per orang di dalam masyarakat tidak seketika meruntuhkan peradaban suatu negeri. Namun, bila maksiat dilakukan pihak raja atau penguasa, itulah jalan mulus untuk kehancuran total.
Ia menyoroti hukum yang tidak berdaya di hadapan kelompok elite, yakni pemimpin beserta kroni dan keluarganya. Tajamnya hukum hanya dirasakan oleh rakyat biasa.
Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, kebinasaan orang-orang sebelum kalian disebabkan mereka enggan menindak tegas kalangan terhormat yang mencuri, tetapi menghukum orang lemah yang mencuri.”
Lunturnya solidaritas
Ibnu Khaldun mengajukan konsep asabiyah. Para ilmuwan modern kerap menyamakan terminologi itu dengan rasa kebangsaan atau solidaritas sosial.
Di suatu negeri, asabiyah bisa buyar jika kebanyakan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai kegemaran bermewah-mewahan. Dampaknya akan lebih parah lagi apabila mereka memiliki komitmen yang rendah terhadap ajaran agama.