Selasa 04 Jun 2024 12:49 WIB

Din Syamsuddin Tanggapi Wacana Konsesi Tambang untuk Ormas

Tokoh Muhammadiyah ini ingatkan soal perubahan-iklim terkait konsesi tambang.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
Cendekiawan muslim Prof. Din Syamsuddin
Foto: dok Muhammadiyah
Cendekiawan muslim Prof. Din Syamsuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendekiawan Muslim Prof Din Syamsuddin menanggapi kebijakan pemerintah yang membuka peluang untuk organisasi-organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mengelola usaha pertambangan batu bara. Menurut ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2015 itu, keputusan pemerintah tersebut di satu sisi dapat dinilai positif, yakni sebagai wujud perhatian negara terhadap peran ormas.

Din menuturkan pengalamannya ketika diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban. Sempat menolak tawaran itu sebanyak dua kali, ia mengaku sampai mempersyaratkan agar Kepala Negara serius menanggulangi ketidakadilan ekonomi di Tanah Air.

Baca Juga

Waktu itu, Presiden Jokowi menjawab bahwa hal itu tidaklah mudah. Namun, lanjut Din, dirinya memandang perkara tersebut tidaklah sukar, asalkan ada kehendak politik (political will).

"Yang saya mintakan hanya pemerintah melakukan aksi keberpihakan (affirmative actions) dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tidak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu. Juga, agar mau menaikkan derajat satu atau dua pengusaha Muslim menjadi setara dengan taipan," ujar Prof Din Syamsuddin melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Selasa (4/6/2024).

 

Din mengaku, peristiwa itulah yang menjadi alasan dirinya mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban. Maka ketika kini muncul kebijakan penawaran konsensi tambang untuk ormas-ormas keagamaan, menurut dia, hal itu sangat terlambat dan terkesan memiliki motif untuk "mengambil hati."

Seandainya konsesi mengelola usaha pertambangan batu bara diberikan kepada--katakanlah--Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), hal itu tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua ormas Islam tersebut. Demikian pula, menurut Din, ketimpangan akan tetap ada, yakni bila dibandingkan dengan besarnya pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki segelintir golongan atau individu di Indonesia.

Din mengatakan, perusahaan seperti Sinarmas menguasai lahan (walau bukan semuanya tambang batu bara) seluas sekitar 5 juta hektare. Bahkan, secara keseluruhan dunia pertambangan mineral dan batu bara Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja.

"Sumber daya alam Indonesia sungguh dijarah secara serakah oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat," kata Din menegaskan.

 

Terkait soal perubahaan iklim?

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement