Selasa 04 Jun 2024 05:56 WIB

Nasab Habib Gaduh di NU, Muhammadiyah Ramai Salafi: Ada Apa dengan Umat?

Polemik nasab habib di NU dan Salafi di Muhammadiyah menguras energi

Rep: Fuji E Permana / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi umat Islam. Polemik nasab habib di NU dan Salafi di Muhammadiyah menguras energi
Foto:

Guru Besar Sosiolog Agama, Prof Mohammad Baharun mengatakan, memandang Muhammadiyah itu pergerakan Islam modernis, mottonya Muhammadiyah berkemajuan. 

Maka Muhammadiyah tidak gampang memvonis sesuatu yang baru dan inovatif itu bid'ah seperti yang sekarang jadi tema-tema ceramah kalangan salafi. 

"Oleh karena itu dalam pandangan saya Muhammadiyah memang punya beberapa amaliyah ibadah mirip salafi, seperti tidak ada qunut Subuh dan zikir jahr dan seterusnya. Tetapi secara aqidah berbeda (dengan salafi). Dalam muamalah (hablum minannas) Muhammadiyah sangat luas dan luwes, karena itu tidak mungkin pengaruh Salafi mampu mengubah khittahnya," kata Prof Baharun kepada Republika.co.id, Jumat (31/5/2024).

Prof Baharun mengatakan, soal NU dan isu nasab Ba Alawi ini memang fenomena baru. Tapi usaha untuk mengingkari dan mendegradasi Ba Alawi yang di Nusantara dikenal dengan sebutan habib sempat mengejutkan. 

Namun setelah ada sikap dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sejumlah pesantren besar dan beberapa Kiai Nahdliyin. Maka orang akhirnya jadi paham bahwa ini perbuatan beberapa oknum warga yang dendam, kemudian mengeksploitasi habib-habib palsu untuk mengingkari nasab Ba Alawi.

Prof Baharun mengatakan, banyak tuduhan yang dikonstruksi dengan fatwa-fatwa dusta merajalela di jagat media sosial. Polemik soal nasab ini masih berlangsung. 

"Menurut teori medsos, kini ada kebenaran baru yang disiarkan berulang-ulang ke berbagai platform medsos, segera mengalahkan kebenaran faktual yang kalah suara dalam polemik," ujar Prof Baharun.

Polemik di dalam ormas besar di Indonesia ini, menurut Prof Baharun, kerja satu kekuatan yang besar logistiknya, mereka gerah melihat soliditas umat. Ditengarai ada penyusupan untuk membuat pembusukan dari dalam tubuh umat. Agar efektif agama dirusak dari dalam ketimbang harus berhadap-hadapan.

"Dalam pandangan saya, ada teori sejarah yang mengatakan bahwa setiap peristiwa itu ada hubungannya dengan peristiwa sebelumnya," ujar Prof Baharun.

Prof Baharun menjelaskan, beberapa dekade terakhir secara faktual soliditas umat ditunjukkan dalam aksi 411 dan 212, yang diberitakan jutaan orang berkumpul. Habib Rizieq Shihab (HRS) yang mengomandoi semula diperkirakan habis pengaruhnya setelah dari pengasingan. Ternyata tetap saja umat yang butuh perubahan berkerumun mendukung.

Maka pihak yang gerah itu akhir secara faktual bisa dirunut. Setelah gagal mendegradasi orangnya, maka pengaruhnya dipreteli seperti yang terjadi di kantong-kantong dukungan Banten, Jawa barat dan DKI Jakarta.

"Menurut saya, NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan sosial umat yang besar telah diobok-obok dengan isu yang tidak produktif itu," ujar Prof Baharun.

Prof Baharun mengingatkan, pihak yang berkepentingan telah menemukan momentumnya, bahkan sebelum Pemilu, diawali dengan isu politik identitas. Kemudian muncullah isu Muhammadiyah versus salafi dan NU versus Ba Alawi. Siapa yang diuntungkan? Lihat saja akhir dari drama fenomena keumatan yang memprihatinkan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement