REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebagai Muslim, kita melakukan semua aktivitas berdasarkan pedoman dari nilai-nilai Islam yang ada pada Alquran dan Sunah. Tidak terkecuali saat membuang hajat berupa buang air besar atau buang air kecil.
Ibnu Qutaibah menguraikan berbagai macam hadis tentang beragam persoalan mulai dari akidah, kisah penciptaan, ibadah, taharah (bersuci), hingga muamalat. Dalam persoalan taharah, misalnya, terdapat dua hadis yang diduga saling bertentangan terkait hukum menghadap kiblat saat membuang hajat besar ataupun kecil.
Hadis yang pertama menyatakan larangan menghadap kiblat sewaktu membuang hajat dikutip oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Salman Al Farisi itu bunyinya cukup tegas memakai kata nahy (larangan), "Janganlah kalian menghadap kiblat saat buang air besar atau kecil."
Sedangkan, hadis kedua yang diriwayatkan oleh Aisyah menegaskan hal yang berbeda. Disebutkan bahwasanya Rasulullah pernah diberi tahu bahwa sekolompok orang tampak kurang suka dan merasa kesulitan dengan larangan membelakangi kiblat ketika membuang hajat.
Lalu, Rasulullah menyuruh mereka untuk berada di toilet dan barulah menghadap kiblat. Riwayat ini dinukilkan oleh Ahmad bin Hanbal. Selanjutnya, dari kedua hadis tadi manakah yang dibenarkan antara menghadap dan membelakangi kiblat sewaktu membuang hajat?
Menurut Ibnu Qutaibah, prinsipnya mudah saja menepis asumsi kedua hadis saling berseberangan itu. Jika memperhatikan teks, kedua hadis mengisyaratkan kemungkinan memakai nasikh dan mansukh untuk menghilangkan kesan kontradiksi.
Terlihat jelas dengan bentuk larangan dan perintah. Artinya, jika ada sebuah larangan kemudian muncul setelah itu perintah, secara otomatis bisa saja larangan tersebut tidak berlaku. Tapi persoalannya, dalam konteks hadis ini nasikh dan mansukh tidak bisa dipergunakan. Lantas, bagaimana menyatukan kedua teks itu?
Berdasarkan analisis Ibnu Qutaibah, kedua teks tidak saling menegasikan dengan metode mengelaborasikan (al-jam'u). Yang dimaksudkan dalam hadis pertama sebenarnya adalah larangan menghadap kiblat jika buang hajat di tanah lapang dan terbuka, seperti di gurun ataupun lapangan.
Sebab, kebiasaan yang sering dilakukan oleh para sahabat pada masa itu apabila singgah dari perjalanan, sebagian menghadap kiblat guna menunaikan shalat, sedangkan sebagian lain mengarah ke arah sana, tetapi bukan untuk shalat, melainkan membuang hajat.
Untuk itu, Rasulullah melarang mereka untuk menghormati kiblat dan menghargai kedudukan shalat. Hadis kedua mengutarakan bahwa sejumlah sahabat mengira larangan tersebut berlaku pula saat berada di perumahan atau tempat yang tertutup lainnya.
Karenanya, Rasulullah hendak mengajarkan dan memberi tahu mereka bahwa selama mereka berada di tempat tertutup, tidak masalah membuang hajat sambil menghadap ke arah kiblat.