REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat Pendidikan Indonesia (Pundi), sebuah Yayasan berfokus pada pendidikan dan moderasi beragama, mengadakan talkshow Ramadhan bertajuk "Haedar Nashir dan Pengarusutamaan Moderasi Beragama". Diselenggarakan pada Ahad 31 Maret 2024 bertempat di aula Ada Sarang, Banguntapan, Yogyakarta.
Talkshow ini membahas buku “Jalan Baru Moderasi Beragama: Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir”. Buku ini berisi urgensi moderasi beragama di tengah masyarakat yang semakin plural.
Acara tersebut menghadirkan Elga J Sarapung, Hatib Rahmawan, Mutiullah, dan Jumaldi Alfi. Setiap narasumber berbagi pandangan tentang bagaimana membangun toleransi dan saling pengertian antarumat beragama.
Elga J. Sarapung, selaku Direktur Institut Dialog Antar-iman (DIAN) Interfidei dan kontributor buku tersebut, menekankan pentingnya moderasi beragama bagi generasi muda dalam menghadapi realitas masyarakat yang semakin beragam.
"Kita harus belajar hidup dengan yang berbeda. Kita harus proaktif. Karena kalau kita tidak banyak bergaul, di kepala kita hanya ada stereotype. Kita terlalu banyak curiga," tegas Elga.
Lebih lanjut, Elga mendorong generasi muda untuk tidak hanya fokus pada satu bidang ilmu, seperti agama. "Bicara soal moderasi beragama, kita tidak hanya bisa belajar soal Alkitab atau Alquran, kita harus belajar juga ilmu-ilmu lain. Bagaimana bisa kita memahami teologi tetapi tidak mempelajari ilmu-ilmu lain atau buta terhadap kenyataan," imbuhnya.
Elga mengapresiasi program moderasi beragama yang digagas oleh pemerintah dan berbagai organisasi. Menurutnya, program ini sejalan dengan pemikiran seorang Haedar Nashir tentang pentingnya hidup rukun dan damai dalam perbedaan.
"Pemikiran moderasi beragama Pak Haedar bukan hanya soal beragama, tetapi juga aspek-aspek kehidupan yang lain. Pluralisme bukan hanya soal antar-agama, tetapi juga intra-agama." papar Elga.
Hatib Rachmawan, Koordinator Program Pundi dan Dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD), memaparkan tentang moderasi beragama dalam Muhammadiyah dan tantangannya bagi generasi muda.
Muhammadiyah memiliki sejarah panjang memperjuangkan moderasi beragama. "Muhammadiyah selalu mengedepankan narasi-narasi moderasi, bahkan di tengah pertarungan ideologi internal," ungkapnya.
Lebih lanjut, Hatib menilai bahwa narasi moderasi yang digagas oleh Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, dapat diterima oleh kalangan konservatif.
"Pak Haedar adalah sosok yang genuine. Pendidikannya ditempa di Indonesia, tetapi gagasannya diterima secara internasional," papar Hatib.
Hatib juga menekankan pentingnya memahami Alquran dengan tiga dimensi: individual, keumatan, dan rahmatan lil alamin. "Pemahaman ini penting untuk melandasi moderasi beragama," imbuhnya.
Menurut Hatib, generasi muda perlu melampaui cara berpikir berkelompok (post-nahnuniyyah) dalam moderasi beragama. "Tidak semua hal perlu dipahami secara fiqh atau hitam putih. Humanisme tetap harus dikedepankan. Maka manusiakanlah manusia," pesannya.
Mutiullah, Direktur Laboratorium Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memberikan pandangannya tentang moderasi beragama dan kaitannya dengan dimensi sosial-ekonomi.
Mutiullah menilai bahwa sosok Haedar Nashir memiliki sikap kritis terhadap berbagai persoalan dan menawarkan solusi dengan menekankan peran kaum intelektual. "Perubahan itu sangat ditentukan oleh peran kaum intelektual," tegasnya.
Mutiullah juga menekankan bahwa moderasi beragama tidak perlu diteriakkan, tetapi dipraktikkan. "Moderasi beragama itu ruhnya Pancasila," paparnya.
Namun, Mutiullah mengingatkan bahwa sebagaimana sosok Haedar Nashir yang sangat kritis terhadap pelbagai problematika kebangsaan, moderasi beragama perlu dikaji dalam dimensi sosial-ekonomi. "Pak Haedar Nashir tentu saja sering mengungkapkan bahwa moderasi beragama bukan hanya soal beragama, tetapi juga soal sosial dan kesejahteraan ekonomi," imbuhnya.
Jumaldi Alfi, seorang pegiat seni dan kebudayaan, memaparkan pentingnya kebudayaan dalam moderasi beragama dan perannya dalam menarik minat generasi muda.
Jumaldi mengemukakan bahwa spirit penggerak moderasi beragama adalah kesenian dan kebudayaan. "Batas-batas etnis maupun kelompok dapat dicairkan oleh kesenian dan kebudayaan. Perbedaan tidak lagi menjadi hambatan," paparnya.
Oleh karena itu, Jumaldi mendorong agar gerakan kebudayaan menjadi fokus utama dalam moderasi beragama. "Bukan hanya soal kebudayaan lama yang perlu dilestarikan, tetapi juga kebudayaan kaum muda yang sangat dinamis seperti sekarang," imbuhnya.
Acara ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang moderasi beragama kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Selain itu, diharapkan acara ini dapat menjadi wadah untuk membangun dialog dan kerjasama antarumat beragama dalam mewujudkan masyarakat yang damai dan harmonis.
Dalam menyukseskan acara ini, Pundi berkolaborasi dengan PT Jamkrindo, Islam Milenial, Laboratorium Filsafat UIN Sunan Kalijaga, dan Ada Sarang.