Rabu 24 Jan 2024 21:01 WIB

Kata BKMT Soal Wacana Kenaikan Pajak Hiburan Malam

Isu kenaikan pajak tempat hiburan malam menimbulkan pro dan kontra.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Tempat Hiburan Malam (ilustrasi)
Foto: Republika/Rusdy Nurdiansyah
Tempat Hiburan Malam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Isu kenaikan pajak tempat hiburan menimbulkan pro dan kontra. Meski demikian, setidaknya terdapat hikmah yang bisa dipetik dari wacana tersebut. 

Ustazah Nurlaila Toyib dari Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) menilai, kenaikan pajak tempat hiburan diharapkan dapat menekan laji kemaksiatan. Khususnya di tempat-tempat hiburan yang bermuatan negatif. 

Baca Juga

"Harapan kita (BKMT) yang seperti itu (kenaikan pajak) semoga dapat mengurangi pelaku pelaku maksiat di negeri kita," kata Ustazah Nurlaila saat dihubungi Republika, Rabu (24/1/2024). 

Sebagaimana diketahui, implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) memicu polemik. Salah satunya mengenai ketentuan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang di dalamnya diatur mengenai tarif pajak jasa kesenian dan hiburan.

Isu kenaikan pajak hiburan tersebut sebesar 40-75 persen. Meliputi bar, kelab malam, diskotek, kataoke, hingga mandi uap/spa. Di dalam Islam, mencari hiburan memang tidak dilarang, namun bukan berarti bebas tanpa menengok pakem syariat. Sebab tak sedikit tempat hiburan yang ada bernuansa negatif. 

Hukum melaksanakan amar makruf nahi munkar

Dilansir di laman Muhammadiyah, hukum melaksanakan amar makruf nahi munkar adalah wajib. Hal ini sebagaimana tercermin pada ancaman yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW. Yakni bagi orang-orang yang tidak melakukan amar makruf nahi munkar tersebut, yaitu akan diberi hukuman/siksa atas keengganannya dan juga pada saat itu doa yang ia panjatkan tidak akan dikabulkan lagi oleh Allah.

Hadits tersebut seiring dengan firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 110:

كُنۡتُمۡ خَيۡرَ اُمَّةٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ وَتُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ‌ؕ وَلَوۡ اٰمَنَ اَهۡلُ الۡكِتٰبِ لَڪَانَ خَيۡرًا لَّهُمۡ‌ؕ مِنۡهُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَاَكۡثَرُهُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ‏

"Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi taamuruuna bilma'ruufi wa tanhawna 'anil munkari wa tu'minuuna billaah; wa law aamana Ahlul Kitaabi lakaana khairal lahum minhumul mu'minuuna wa aksaruhumul faasiquun."

Yang artinya, "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik."

Ayat ini memerintahkan agar ada sebagian dari golongan kaum Muslimin untuk menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dengan hadits riwayat Hudzaifah tersebut, kata waltakun minkum yang artinya, “hendaknya sebagian dari kamu sekalian menjadi” dipahami dengan waltakun kullun minkum yang artinya “hendaknya setiap kamu sekalian menjadi” (lihat Tafsir ibn Katsir, 2: 91).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement