Rabu 17 Jan 2024 11:51 WIB

Kelaparan Kini Kian Mematikan di Gaza

PBB mengeluarkan seruan bersama yang mendesak akses bantuan yang lebih besar ke Gaza.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Truk bantuan kemanusiaan memasuki Jalur Gaza dari Israel melalui penyeberangan Kerem Shalom di Rafah pada Ahad (14/1/2024).
Foto: AP Photo/Hatem Ali
Truk bantuan kemanusiaan memasuki Jalur Gaza dari Israel melalui penyeberangan Kerem Shalom di Rafah pada Ahad (14/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), Martin Griffiths, mengatakan perang Israel di Gaza mengakibatkan kelaparan dengan "kecepatan yang sangat luar biasa". Ia memperingatkan ratusan ribu rakyat Palestina kelaparan di permukiman yang dikepung tersebut.

"Sebagian besar dari 400 ribu warga Gaza yang ditetapkan berisiko kelaparan, kini benar-benar dalam kelaparan, tidak hanya dalam risiko kelaparan," kata Griffiths dalam wawancara dengan CNN International, Senin (15/1/2024). "Ini aspek yang sangat luar biasa dan sama sekali tidak disukai dalam perang Gaza, ini telah menimbulkan kelaparan dalam kecepatan yang sangat luar biasa di garis depan," katanya menambahkan.

Baca Juga

Bantuan perlahan-lahan sudah diizinkan masuk Gaza dari dua perbatasan di selatan. Namun, OCHA memperingatkan bantuan masih terlalu sedikit dibandingkan yang dibutuhkan warga Gaza.

Pekan lalu, OCHA mengatakan Israel melarang pasukan penting masuk ke utara Gaza. Namun, Israel menuduh lembaga pengungsi PBB (UNRWA) "menghambat" kemajuan pasokan bantuan. Pada CNN Monday, Griffiths mengatakan upaya menyalurkan bantuan pada 300 ribu warga Gaza di utara permukiman tersebut masih menantang. "Ini bukan masalah jumlah truk yang dapat masuk," katanya setelah mengungkapkan serangkaian rintangan yang membuat bantuan sulit masuk.

Seperti tidak adanya "dekonfliksisasi rute akses" bantuan yang dapat diandalkan dan warga sipil terus "pindah dari satu tempat yang tidak aman ke tempat yang tidak aman lainnya." "Bila anda tidak bisa mengandalkan rute akses tanpa konflik yang dibutuhkan orang-orang, anda tidak dapat memastikan rumah sakit tidak akan diserang, anda tidak bisa memastikan orang-orang pindah dari satu tempat yang tidak aman ke tempat yang tidak aman lainnya, masalah-masalah itu yang harus diwaspadai agar bantuan kemanusiaan dapat masuk, ini bukan tentang jumlah truk yang dapat masuk," katanya.  

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan serangan udara Israel sudah menewaskan lebih dari 24 ribu orang dan melukai 60 ribu lainnya. Sementara PBB mengatakan lebih dari 90 persen warga Gaza mengungsi.

Pengeboman Israel menghancurkan sebagian besar Gaza sementara warga sipil hidup dalam ancaman kematian baik karena serangan udara, kelaparan atau penyakit. Griffiths mengatakan situasi kemanusiaan yang sangat buruk di Gaza dapat menciptakan "kebencian hingga bergenerasi-generasi berikutnya". "Kami mengkhawatirkan keamanan Israel sebesar keamanan di Gaza," katanya.

Pada Senin lalu, badan-badan PBB mengeluarkan seruan bersama yang mendesak akses bantuan yang lebih besar ke Gaza. PBB mengatakan "perubahan mendasar dalam aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza sangat dibutuhkan."

Kepala Program Pangan Dunia (WFP), Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pasokan yang cukup untuk masuk dan melintasi Gaza bergantung pada pembukaan rute masuk baru, lebih banyak truk yang diizinkan melewati pemeriksaan perbatasan setiap hari, lebih sedikit pembatasan pada pergerakan pekerja kemanusiaan, dan jaminan keamanan bagi orang-orang yang mengakses dan mendistribusikan bantuan.

"Orang-orang di Gaza berisiko mati kelaparan hanya beberapa kilometer dari truk-truk yang penuh dengan makanan," kata kepala WFP Cindy McCain. Menurutnya, setiap jam yang hilang membuat banyak nyawa terancam. "Kita dapat mencegah kelaparan, namun hanya jika kita dapat mengirimkan pasokan yang cukup dan memiliki akses yang aman kepada semua orang yang membutuhkan, di mana pun mereka berada," tambahnya.

Pada awal Desember lalu, WFP memperingatkan "bencana kelaparan" di Gaza yang "sudah mengancam membanjiri penduduk sipil" akan semakin parah. Seorang pekerja bantuan berusia 53 tahun dan ibu dari empat orang anak di Gaza, Salwa Tibi, baru-baru ini mengatakan anak-anaknya "menjerit sepanjang hari karena kelaparan."

Ketika angin, hujan lebat, dan suhu yang lebih dingin turun di Gaza dari bulan November hingga Februari, para pekerja bantuan dan warga sipil yang mencoba bertahan dari pemboman terus-menerus mengatakan mereka menghadapi kondisi kehidupan yang keras. Mereka tidak memiliki akses untuk mendapatkan pakaian hangat yang memadai, dan menghadapi wabah penyakit di tempat penampungan sementara yang penuh sesak.

Makanan, bahan bakar, dan air semakin langka, dan harga barang-barang itu yang tersisa pun terus meningkanaik. "Saya merasa kasihan pada anak-anak, mereka tidak punya apa-apa untuk menghangatkan badan dan kami hampir mati kedinginan di malam hari," kata Tibi.

Orang dewasa menjatah makanan mereka agar anak-anak tidak kelaparan. "Saya melihat orang-orang kelaparan, benar-benar kelaparan," kata seorang mahasiswa berusia 20 tahun, Shadi Bleha yang mengungsi dari Gaza utara ke Rafah. Ia makan satu kali sehari.

Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan dan Gizi Terpadu (IPC) mengonfirmasi seluruh penduduk Gaza, atau sekitar 2,3 juta orang menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang tinggi atau lebih buruk lagi, satu dari empat rumah tangga menghadapi kondisi bencana.

IPC mengatakan ini adalah angka tertinggi dari orang-orang yang menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang pernah diklasifikasikan inisiatif ini untuk area atau negara tertentu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement