Kamis 28 Sep 2023 15:01 WIB

Hukum Karmin Berbeda Antara MUI dan NU Berbeda, Mengapa Bisa dan Bagaimana Sikap Kita?

Karmin banyak digunakan untuk produk makanan hingga kosmetik

Rep: Fuji E Permana / Red: Nashih Nashrullah
Smothie Jelly dengan es krim (ilustrasi). Karmin banyak digunakan untuk produk makanan hingga kosmetik

Sementarara itu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur melalui badan otonom LBM, menegaskan bahan karmin najis. Artinya, bahan kimia olahan itu haram dikonsumsi karena dinilai bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam.

Soal kenajisan dan keharaman karmin disampaikan langsung oleh Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar saat mengisi ceramah di haul ke-47 KH Atqon Pondok Pesantren Mambaul Ulumayong pada Ahad (24/9/2023). Kiai Marzuki Mustamar yang juga pimpinan Pondok Pesantren Sabilirrosyad, Gasek, Malang, Jawa Timur mengatakan bahwa LBM NU Jawa Timur telah memutuskan tentang hukum penggunaan karmin (carmine). 

Menurut Kiai Marzuki, serangga ini dibudidayakan di negara-negara Eropa. Setelah dipanen dan dikeringkan lalu kutu daun ini digiling untuk selanjutnya dijadikan campuran zat pewarna makanan olahan yang disebut karmin. Biasanya produk yang mengandung karmin menyertakan keterangan kode E-120.

Dalam keputusan Lembaga Bahtsul Masail NU menjelaskan bangkai serangga (hasyarat) tidak boleh konsumsi karena najis dan menjijikkan kecuali menurut sebagian pendapat dalam Madzhab Maliki. 

Adapun penggunaan karmin untuk keperluan selain konsumsi semisal untuk lipstik menurut Jumhur Syafi’iyyah tidak diperbolehkan karna dihukumi najis. Sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik dan Imam Abi Hanifah dihukumi suci sehinnga diperbolehkan karna serangga tidak mempunyai darah yang menyebabkan bangkainya bisa membusuk.

Wilayah ijtihad 

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Abdul Muiz Ali menyampaikan, menghargai keputusan LBM PWNU Jawa Timur. Namun, penetapan kehalalan produk adalah wewenang Fatwa MUI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.

"Fatwa MUI tersebut dikeluarkan secara independen dan sesuai dengan pedoman penetapan Fatwa MUI, termasuk di antaranya didahului dengan kajian-kajian yang melibatkan para pakar di bidangnya, untuk kemudian menjadi bahan dalam pembahasan fiqihnya," kata Kiai Muiz Ali.

Dalam kasus ini, dijelaskan Kiai Muiz Ali, setelah dilakukan kajian mendalam, baik dari aspek sains maupun fiqih, diputuskanlah secara jama'i (kolektif) fatwa dengan hasil sebagaimana termaktub dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011.

Kiai Muiz Ali menerangkan, sebagai salah satu masalah yang substansinya masuk dalam wilayah ijtihad, adalah dimungkinkan terjadinya perbedaan dengan hasil ijtihad lainnya tentang masalah dimaksud. Bahkan jika dirujuk sumber-sumber mu'tamad dari mazhab-mazhab fiqih, masalah yang sama juga tidak lepas dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Baca juga: 8 Fakta tentang Istana Supermegah Firaun yang Diabadikan Alquran

"Terkait dengan perbedaan antara Fatwa MUI dengan hasil LBM PWNU Jawa Timur dalam masalah ini, kiranya dapat dilihat sebagai perbedaan hasil ijtihad. Masing-masing ada argumen dan hujjah yang mendasari, maka oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan berlebihan, dan hasil ijtihad tidak membatalkan satu sama lain," ujar Kiai Muiz Ali.

Kiai Muiz Ali mengatakan, sebagai perbandingan setidaknya ada dua lembaga fatwa luar negeri yang mengatakan bahwa cochineal itu halal. Sebagai catatan, jika diperhatikan ibarat-ibarat fikih pada keputusan LBM PWNU Jawa Timur, terlihat justru banyak argumen yang menguatkan tentang kehalalan cochineal tersebut. 

"Dengan adanya perbedaan fatwa, masyarakat diharapkan dapat diberikan edukasi yang tepat dalam menyikapi perbedaan. Masing-masing pendapat dapat menjadi pilihan untuk diikuti, dan hendaknya tidak sampai menimbulkan keresahan," ujar Kiai Muiz Ali.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement