Kelompok hak asasi manusia juga menuduh adanya penganiayaan terhadap umat Islam di bawah pemerintahan Modi, yang menjadi perdana menteri pada 2014. Mereka menunjuk pada undang-undang kewarganegaraan 2019 yang digambarkan sebagai diskriminatif secara mendasar oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB karena mengecualikan migran Muslim, undang-undang anti-konversi yang menentang hak kebebasan berkeyakinan yang dilindungi konstitusi, dan pencabutan status semi-otonom Kashmir yang mayoritas penduduknya Muslim pada 2019.
Di samping itu, ada juga pembongkaran properti Muslim atas nama penghapusan bangunan ilegal dan larangan mengenakan jilbab di ruang kelas di Karnataka ketika BJP berkuasa di negara bagian selatan tersebut. Sebagai tanggapan, juru bicara BJP Tom Vadakkan menyalahkan partai oposisi karena diduga mempromosikan ujaran kebencian.
“Jika Anda berbicara tentang ujaran kebencian yang dibuat oleh anggota parlemen BJP di parlemen, itu urusan ketua (parlemen) yang akan mengambil tindakan. Atas dasar apa laporan tersebut mengatakan 80 persen ujaran kebencian dibuat di negara bagian yang dikuasai BJP,” kata dia.
Di sisi lain, aktivis dan jurnalis Teesta Setalvad mengatakan kebencian mengalir dari atas di India. “Kebencian adalah kebijakan negara dan digunakan untuk mobilisasi politik,” kata dia.
Setalvad mengatakan, pejabat terpilih dalam posisi konstitusional telah menggunakan penghinaan, stigma dan pelecehan terhadap minoritas India, terutama Muslim. “Negara-negara bagian yang melakukan pemungutan suara sebagian besar merupakan tempat terjadinya hasutan tersebut. Itu adalah keheningan atas keterlibatan. Keheningan dan impunitas yang dinikmati oleh pelaku kejahatan kebencian inilah yang membuat kehidupan sehari-hari kelompok minoritas India rapuh dan rentan,” kata dia.