Kamis 07 Sep 2023 13:19 WIB

Pengamat Terorisme Tanggapi Rencana BNPT Kontrol Rumah Ibadah

Rencana BNPT kontrol rumah ibadah memantik kegaduhan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Usulan BNPT Kontrol Rumah Ibadah, Pengamat Terorisme: Konyol!. Foto:   Logo Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Foto: Dok resmi bnpt.
Usulan BNPT Kontrol Rumah Ibadah, Pengamat Terorisme: Konyol!. Foto: Logo Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Tahun 2023 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kembali memantik perdebatan publik dengan mengusulkan ide mengontrol rumah ibadah. Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya menilai, gagasan itu konyol dan bias paradigma.

“Usulan itu jelas mengusik nalar sehat publik, konyol. Akhirnya respons kritis atas gagasan BNPT dan eksistensinya masif datang dari beragam kalangan, data algoritma di dunia maya dominan menolak bahkan muncul usulan BNPT seyogianya di bubarkan saja,” kata Harits dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (7/9/2023).

Baca Juga

Tahun sebelumnya, kata dia, ide mapping (pemetaan) masjid dari BNPT juga memantik kegaduhan. Namun hal itu seolah tidak menjadi bahan intropeksi dan evaluasi secara komprehensif bagi BNPT. Dan, saat ini gagasan mengontrol rumah ibadah dinilai lebih lagi ke arah tindakan praktis mengontrol masjid. BNPT dinilai secara pasti telah memantik kegaduhan publik dengan ide, wacana, atau rencana tersebut.

“Umat ini relatif rukun dan adem ayem dalam kehidupan beragamanya. Jika ada sedikit riak-riak itu masih dalam batas yang wajar. Kenapa harus di suguhkan ke mereka ide-ide yang tidak konstruktif?” kata dia.

Harits juga menjabarkan mengenai data masjid yang dijadikan dasar kebijakan perlu diuji kebenarannya. Dia mengharuskan BNPT memiliki transparansi tolok ukur penilaian yang seperti apa dan paradigma dasar penilaiannya bagaimana. Bukan hanya berdasarkan asumsi, apalagi kecurigaan dengan alasan sebagai bagian langkah preventif kontraradikalisme atau kontraterorisme.

Hakikatnya urusan keyakinan, kata Harits, pemikiran itu ranah personal dan tidak korelatif dengan status pekerjaan dia apakah yang bersangkutan adalah ASN, pegawai BUMN, dan lain sebagainya. Saat ini Masjid dinilai bukan menjadi basis utama bagaimana individu membangun formulasi keyakinan dan gagasan-gagasan elementernya. Justru realitas aktualnya dunia maya menjadi zona subur terjadinya interaksi ide, pemikiran, atau keyakinan antarpersonal. 

“Persemaian gagasan-gagasan dari ekstrem kanan sampai ekstrem kiri menggeliat subur. Dari gagasan yang konstruktif sampai yang destruktif terhadap anak bangsa ini tersedia di lapak dunia maya. Masjid tidak lagi relevan menjadi obyek yang dicurigai kaitannya dengan proyek kontra terorisme ala BNPT,” kata dia.

Dia pun meminta agar BNPT me renungkan ulang gagasan mengontrol rumah ibadah agar tidak blunder. Sebab, kata dia, masjid di NKRI 99,9 persen dipastikan baik-baik saja. Sehingga tidak perlu menjadi obyek proyek kepentingan yang kontraproduktif dan kepentingan yang terkesan sentimental terhadap entitas umat Islam dan fasilitas-fasilitas keagamaannya.

Negara Indonesia dinilai bukanlah negara fasis atau tiranic, sehingga tidak boleh ditarik ke arah wajah kekuasaan yang tiran. Menampilkan akrobat gagasan-gagasan yang sekuler ekstrem dengan basisnya dinilai adalah setimen kekuasaan yang alergi kritik publik, alergi kontrol publik.

“Jadi, tidak perlu berlebihan untuk masuk keruang-ruang ibadah umat Islam.

Jika ambil contoh negara luar semisal Qatar, Malasia, dan lainnya, tolong jangan comot satu aspek saja sesuai dengan kepentingan untuk melegitimasi gagasan konyol BNPT. Tapi, banyak faktor dan variabel lain diabaikan yang menjadikan negara luar jadi basis komparasi menjadi tidak relevan,” kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement