Rabu 23 Aug 2023 04:26 WIB

Kemenag Ajak ASN Tolak Politik Identitas

Politik identitas berpotensi membelah persatuan bangsa.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Erdy Nasrul
Politik identitas dinilai tidak akan mewarnai pemilu 2024. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Mohammad Ayudha
Politik identitas dinilai tidak akan mewarnai pemilu 2024. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag), Amien Suyitno, mengajak seluruh aparatur sipil negara (ASN) untuk menolak politik identitas. Hal ini ia sampaikan saat membuka Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama di Gedung Pusdiklat Kemenag, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.

“Dalam pelatihan kolaboratif pertama kali antara Kemenag dengan TNI dan Polri untuk Angkatan I, II, III, dan IV ini, saya ingin menyampaikan pesan Gus Men tentang perlunya menolak politik identitas,” ujar dia dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Rabu (23/8/2023).

Baca Juga

Politik identitas disebut harus ditolak, karena sangat berbahaya bagi harmoni dan kerukunan masyarakat Indonesia.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa identitas itu tetap penting. Sebab, setiap orang tentu memiliki identitasnya masing-masing, baik jabatan, pekerjaan, kelompok gender, maupun agama dan suku bangsa.

“Mengapa kita harus menolak politik identitas? Kalau terkait pentingnya identitas, memang iya. Lalu, apanya yang kita tolak? Yaitu politik identitas yang digunakan untuk kepentingan politik,” lanjut Suyitno.

Menurutnya, identitas yang melekat seperti suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) tentu tidak bisa ditolak. Sebab, semua itu merupakan bawaan lahir. Akan tetapi, jika hal tersebut digunakan untuk kepentingan politik, maka tidak ada perdebatan untuk menolaknya.

Ia beralasan identitas yg digunakan untuk kepentingan politik berbahaya. Apalagi, politik identitas dengan nomenklatur agama lebih berbahaya lagi.

Tidak hanya itu, ia pun menyebut sudah banyak pengalaman menunjukkan hal itu bisa menjadikan disharmoni antar keluarga.

Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang ini menambahkan, disharmoni antar keluarga masih bisa ditemui di masyarakat. Ini merupakan akibat perbedaan pilihan politik pada Pilpres 2019.

"Mereka belum move on. Ini nyata dan ini harus kita cegah,” ujar dia.

Dalam konteks ini, Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag menilai diklat penggerak penguatan Moderasi Beragama menjadi sangat penting. Karena tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, maka penguatan MB harus menyasar seluruh kementerian/lembaga (K/L), termasuk TNI dan Polri.

“Itulah mengapa kita perlu secara bersama-sama duduk bareng terkait dengan penguatan Moderasi Beragama,” kata Kaban di hadapan 120 peserta pelatihan terdiri dari perwakilan Kemenag, TNI dan Polri.

Suyitno mengatakan, internalisasi MB tidak cukup hanya melalui pendekatan agama. Sebab, ekstremisme itu tidak berhadapan hanya dengan persoalan teologi semata.

Di dalamnya, ada persoalan terkait agama, sosiologi, bahkan, mungkin bisa terintegrasi beberapa persoalan, seperti ketimpangan. Oleh karena itu, pendekatannya tidak bisa tunggal.

Suyitno berharap para peserta serius dan disiplin dalam mengikuti pelatihan ini. Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama diikuti 120 peserta, terdiri atas 30 unsur TNI, 30 unsur Polri, dan 60 orang dari unsur Kemenag.

Adapun perwakilan Kemenag berasal dari Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, serta sejumlah Kantor Kemenag kabupaten/kota sekitar.

Sejumlah narasumber yang dihadirkan, antara lain Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag Prof Amien Suyitno, Pokja Moderasi Beragama Alissa Wahid, serta Menag 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement