Oleh: Jaya Suprana, Penulis Penggagas Museum MURI dan Aktivis Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.
Di Tengah kota kuno Djenne, Mali, yang telah resmi dilindungi UNESCO sebagai warisan kebudayaan dunia wajib dilestarikan, berdiri megah bangunan monumental sekaligus spektakuler yang tersohor dengan sebutan Masjid Agung Djenne.
Bangunan setinggi 20 meter di atas platform sepanjang 91 meter berada di pedalaman gurun Sahara di antara sungai Niger dan Bani, Mali Selatan, Afrika Barat sebagai bangunan terbuat dari bahan lumpur terbesar di planet bumi yang digarap berdasarkan warisan kearifan arsitektur tradisional Sudano-Sahelian.
Masjid Agung Djenne memiliki tiga minaret gigantis yang masing-masing “ditusuk-tusuk” secara horizontal dengan batang-batang pohon kelapa yang disebut “toron” agar tidak mudah runtuh. Masjid dengan daya tampung lebih dari 3.000 umat tersebut ditegakkan oleh 90 kolom kayu, yang menopang dinding terbuat dari bata-lumpur serta atap yang terbuka pada musim kemarau demi membiarkan udara masuk menyejukkan ruang dalam masjid serta pada musim hujan dapat ditutup oleh atap terakota mencegah air hujan masuk.
Menakjubkan bahwa sistem penyejuk ruang tradisional alami Masjid Agung Djenne mampu membuat suhu udara di dalam masjid sampai lebih rendah sekitar 20 derajat Celsius ketimbang suhu udara di luar ruang yang pada musim panas bisa mencapai 50 derajat Celsius.
Dinding Masjid Agung Djenne terbuat dari lumpur yang secara rutin setiap tahun pada bulan April dipugar selama sehari suntuk oleh warga Djenne secara gotong royong melalui upacara Crepissage alias pemlesteran struktur dinding lumpur yang selalu “melumer” akibat curah hujan skala dahsyat pada bulan Juli dan Agustus.
Setiap tahun melalui upacara Crepissage, tampak luar Masjid Agung Djenne memang secara rutin dipulihkan kembali meski di sana-sini senantiasa ada perubahan wajah.
Pada hakikatnya, Crepissage bukan terbatas peristiwa kebudayaan arsitektural, melainkan juga merupakan zat perekat kohesi-sosial yang mempersatukan seluruh warga Djenne tua-muda lelaki-perempuan untuk senantiasa hidup bersama secara gotong royong dan Bhinneka Tunggal Ika dalam upaya melestarikan tradisi keagamaan ataupun keduniawian.
Masyarakat adat Burkina Faso juga asyik mendayagunakan lumpur sebagai bahan bangunan rumah pribadi sampai rumah ibadah. Bata-lumpur sebagai bahan bangunan kini mengalami masa kebangkitan kembali setelah sempat diungguli oleh beton di peradaban Afrika Barat dan Timur Tengah mulai dari Maroko sampai ke Uni Emirat Arab.
Hal itu atas kesadaran bahwa kakek-nenek moyang bangsa Afrika memang memiliki kearifan tersendiri dalam secara sadar menggunakan lumpur sebagai bahan bangunan yang sesuai dengan suasana lingkungan hidup setempat.
Menurut mahaguru arsitektur Nusantara saya, Prof DR Totok Rusmanto, di Indonesia tradisi bahan bangunan lumpur sampai masa kini didayagunakan oleh masyarakat adat di Lombok serta tembok penyengker di Pejeng dan Kintamani, Bali.