Kamis 18 May 2023 14:39 WIB

Habib Nabiel Jelaskan Cara Dai Sikapi Perbedaan Politik di Tengah Umat

Rakyat Indonesia akan kembali merayakan pesta demokrasi tahun depan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habib Nabiel Al-Musawa menyampaikan tausiyah saat kegiatan Tarhib Ramadhan 1444 H di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Ahad (19/3/2023). Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Dakwah bersama DKM Masjid Cut Meutia menggelar Tarhib Ramadhan 1444 H yang diisi dengan kegiatan istighosah dan tausiyah. Kegiatan tersebut sebagai upaya mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadhan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habib Nabiel Al-Musawa menyampaikan tausiyah saat kegiatan Tarhib Ramadhan 1444 H di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Ahad (19/3/2023). Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Dakwah bersama DKM Masjid Cut Meutia menggelar Tarhib Ramadhan 1444 H yang diisi dengan kegiatan istighosah dan tausiyah. Kegiatan tersebut sebagai upaya mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rakyat Indonesia akan kembali merayakan pesta demokrasi tahun depan. Untuk itu, Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar kegiatan Silaturahmi & Halaqah Dakwah yang bertajuk “Urgensi Peran Dai dan Dewan Kemakmuran Masjid dalam Menjaga Ukhuwah di Tahun Politik”.

Dalam kegiatan tersebut, Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Habib Nabiel Al-Musawa menyebut perbedaan adalah keniscayaan dan merupakan kehendak Allah SWT. Bahwa hanya Allah saja yang Maha Esa (Ahad), selain-Nya pasti berbeda-beda dan beragam.

Baca Juga

“Islam itu hanya mengakui yang namanya Ahad (Maha Esa), at-tauhid hanya bagi Allah, adapun yang namanya makhluk itu seluruhnya beragam,” kata dia dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Kamis (18/5/2023).

Karena itu, Habib Nabiel mengajak seluruh dai agar memahami perihal perbedaan ini. Sehingga, para dai tidak serta-merta memaksa jamaah untuk ikut pada pendapatnya saja.

“Jadi, orang yang ingin menyatukan semua orang dalam satu jenis manhaj atau mazhab itu enggak paham fikih,” ujar dia.

Ia pun mengingatkan perintah Allah SWT kepada umat-Nya, bahwa bukan untuk memaksa orang-orang agar satu jenis, satu pendapat saja, melainkan Allah memerintahkan menjadi umat yang tengah-tengah, adil dan moderat.

Lebih lanjut, dalam konteks menyambut tahun politik, Habib Nabiel menyeru para dai supaya memahami dalam pilihan politik itu sama sekali tidak berhubungan dengan inti agama, seperti akidah dan ushuluddin.

“Dalam imamah (kepemimpinan) dan penentuan syaratnya, berhubungan dengan negara dan politik, tidak sedikit pun berimplikasi pada pengafiran,” ujar Habib Nabiel.

Masih dalam kesempatan tersebut, ia pun mengutip pendapat beberapa ulama terkait pemilihan pemimpin ini. Kesimpulannya, menunjukkan dalam memilih pemimpin itu tidak ada hubungannya dengan status seseorang apakah dia Muslim atau kafir.

“Sehingga enggak perlu, misalnya, suami dengan istri cerai hanya gara-gara beda capres, beda partai, beda caleg, ini kita harus memberikan pencerahan untuk menghilangkan yang begini,” kata dia.

Dalam agenda ini hadir pula Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari. Ia menyampaikan keteladanan menjadi faktor penentu dalam mencapai kepemimpinan yang efektif.

"Kalau kita ingin mengukur kepemimpinan yang efektif itu cuma satu yaitu keteladanan. Rasulullah diikuti oleh masyarakat Arab kala itu, karena keteladanan yang dimiliki, bukan sekadar ucapannya,” ujar dia.

MUI sebagai salah satu organisasi Islam yang besar di Indonesia disebut ikut memiliki andil dalam memperikan keteladanan kepada umat. Dengan demikian, kepemimpinan yang ada di MUI ataupun pada organisasi Islam lainnya akan efektif.

Selain itu, ia menilai MUI juga mampu menyebarkan Islam yang ramah di tengah-tengah suasana menghadapi tahun politik 2024 nanti. Adapun perbedaan terkait identitas disebut merupakan suatu keniscayaan dan tidak bisa dihindari.

Meski demikain, poin utamanya adalah bagaimana mencari titik temu dalam perbedaan tersebut. Di sinilah peran para tokoh agama dan MUI dalam membimbing umat.

Lebih lanjut, Hasyim juga mengingatkan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepada daerah (pilkada) merupakan arena konflik yang dianggap sah dan legal untuk meraih atau pun mempertahankan kekuasaan.

Karena itu, apabila terdapat topik pembicaraan terkait bagaimana caranya mengurangi atau menghilangkan dan meminimalisasi konflik dalam pilkada dan pemilu, hal tersebut mustahil. Sebab, di sanalah arena konflik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement