Ahad 23 Apr 2023 21:42 WIB

Ramuan Madura dan Tradisi Mudik Lebaran dalam Budaya Madura

Mudik lebaran di Madura penuh dengan nuansa kearifan.

Ilustrasi mudik menuju Madura.
Foto:

Perbedaan lainnya adalah, pada rakaat kedua setelah rukuk, imam membaca doa qunut seperti dalam Shalat Subuh.

Menurut Ahli Ghufron, pendapat para ulama sebagian besar hanya dibaca pada Shalat Subuh, sementara shalat lainnya jarang dibaca. Meskipun demikian ia mengakui bahwa masih ada beberapa imam yang membaca qunut saat Shalat Jumat atau Shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Seusai Shalat Id, keluarga kiai pemilik mushalla atau langgar menyediakan makan atau sarapan untuk jamaah yang hadir. Nasi dan lauk sederhana itu biasanya juga merupakan kumpulan dari kiriman warga sekitar, dengan hidangan nasi berlauk daging seadanya ditambah mi goreng dan potongan telor ayam yang digodok kemudian digoreng.

Seusai makan bersama, jamaah kemudian berbincang mengenai berbagai hal dan sekitar pukul 8:30 pulang ke rumah masing-masing. Kegiatan warga dilanjutkan dengan silaturahmi ke famili dan tetangga dekat. Bisanya keluarga yang lebih muda terlebih dahulu mendatangi yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan. Setelah itu, pada malam atau esok harinya keluarga lebih tua mengadakan kunjungan balasan ke yang lebih muda.

Tak lupa, saat kunjungan, sekaligus menjadi ajang saling meminta maaf itu, keluarga yang berkunjung membawa makanan, berupa nasi dan lauk daging ditambah jajan basah, seperti kucur, wajik dan lainnya. Untuk lauk daging, kebiasaan mengolah dari warga desa di Pamekasan hampir semuanya sama, yaitu mirip rendang atau semur kering.

Tradisi makanan Lebaran di Madura tidak mengenal sajian ketupat, melainkan hanya nasi. Sementara ketupat disediakan 7 hari setelah Idul Fitri. Orang Madura biasa menyebut sebagai Lebaran Ketupat atau lebaran bagi yang berpuasa Syawal selama 6 hari.

Selain mengunjungi keluarga yang masih hidup, di hari pertama Lebaran, warga juga mengunjungi keluarga yang sudah ada di dalam kubur atau ziarah. Di areal kuburan mereka membaca doa tahlil bersama, kemudian menaburkan bunga di atas pusara keluarganya. Jangan bayangkan taburan itu seperti di kota-kota yang jenisnya lengkap, mulai dari mawar, kenanga, melati, dan lainnya. Tabur bunga di makam di perdesaan Madura ini cukup dengan menggunakan irisan daun pandan, sehingga di atas pusara itu taburan bunganya sama, warna hijau dari daun pandan yang dirajang.

Jika di areal makam berjumpa dengan tetangga atau teman, biasanya dimanfaatkan warga untuk saling meminta maaf. Mereka yang baru pulang dari rantau biasanya berkomunikasi lebih lama karena diwarnai dengan basa-basi saling bertanya kabar, termasuk jumlah anak atau cucu.

 

Setelah dari makam, warga kemudian melanjutkan kunjungan ke sanak familinya yang tinggal berbeda desa untuk bermaaf-maafan. Sementara untuk keluarga yang lebih jauh, kunjungan biasanya dilakukan pada esok hari, lusa, atau sebelum Lebaran Ketupat.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement