Kamis 16 Mar 2023 20:33 WIB

Said Aqil, Pajak, dan Tradisi NU : Cerita di Balik Layar

Kritik Kiai Said terkait pajak merujuk pada keputusan NU

Ketua Dewan Pembina Islam Nusantara Foundation (INF) KH Said Aqil Sirodj. Kritik Kiai Said terkait pajak merujuk pada keputusan NU
Foto:

Oleh : M Halim Pohan, Bendahara Umum Islam Nusantara Foundation (INF) dan Dewan Pembina Jejaring Dunia Santri (JDS)

Duduk perkara

Sebelum memberikan respons, mari kita mulai dari pangkalnya. Ada tiga poin keputusan tentang pajak dari Komisi Bahtsul Masail di Munas Alim Ulama NU pada 2012 tersebut.

Pertama, pada dasarnya tidak ada kewajiban pembayaran pajak di dalam syariat Islam. Namun pembayaran pajak boleh diberlakukan bagi rakyat yang mampu untuk kemaslahatan rakyat apabila sumber-sumber dana non pajak yang telah dikelola dengan benar tidak mencukupi untuk kebutuhan negara.

Kedua, adapun pembayaran pajak yang dikenakan kepada rakyat miskin adalah haram. Sedangkan pengenaan pajak yang telah secara berlebihan dan memberatkan rakyat, wajib dikurangi jenis-jenisnya, dan diturunkan besaran nilainya.

Ketiga, apabila pemerintah telah mewajibkan pembayaran pajak secara benar, tetapi dana pajak banyak digelapkan dan diselewengkan, maka hukum pembayaran pajak tetap wajib. Sedangkan penyelewengan dana pajak wajib segera diberantas dan pelakunya ditindak tegas.

Selain itu, juga ada dua rekomendasi tentang pajak dari Komisi Bahtsul Masail. Pertama, pemerintah harus segera mengurangi di antara berbagai jenis wajib pajak, dan menurunkan tingginya nilai pembayaran yang memberatkan rakyat. 

Kedua, jika pemerintah tidak sungguh-sungguh memberantas penggelapan dan penyelewengan dana pajak, maka kewajiban pembayaran pajak oleh pemerintah wajib ditinjau ulang.

Jika kita mencermati poin keputusan dan rekomendasi, maka dalam konteks Kiai Said ini ada dua hal yang patut direnungkan. Pertama, pemerintah harus segera memberantas penyelewengan dan menindak tegas pelakunya.

Kedua, jika pemerintah tak sungguh-sungguh memberantas penyelewengan dan penggelapan pajak maka kewajiban pembayaran pajak wajib ditinjau ulang. Pada poin kedua ini titik beratnya ada di PBNU.

Artinya, PBNU bisa membahas persoalan wajib-tidaknya membayar pajak jika tak ada kesungguhan memberantas penyelewengan dan penggelapan pajak. Karena hakikatnya pajak tak dikenal dalam syariat Islam, seperti bisa dibaca pada keputusan poin pertama.

Literasi dan mata batin

Pernyataan Kiai Said Aqil ini semacam warning, narasi orisinil tentang moral- etika pejabat penyelenggara negara (wabil khusus pejabat dan aparatur pajak) dan masukan buat pengurus PBNU.

Sebagai Mustasyar (Dewan Penasihat) PBNU, tentu KH Said Aqil sedang memberikan pendapatnya tentang kondisi terkini dikaitkan dengan posisi NU di tengah masyarakat. Sehingga respons dari pengurus PBNU yang diwakili dua ketuanya, Jusuf Hamka dan Gus Fahrur sangat keliru. Namun, hal yang memprihatinkan adalah ketidakpahaman tentang literasi NU itu sendiri.

Respons Jusuf Hamka memperlihatkan dua hal. Pertama, tak paham literasi NU. Kedua, tidak paham budaya dan tradisi NU. Sedangkan respons Gus Fahrur menunjukkan, pertama, tak paham literasi NU. Kedua, perspektif yang keliru.

Jika melihat dengan cermat rekaman video maupun membaca pemberitaan Kiai Said Aqil soal pajak ini maka akan jelas terpapar bahwa beliau menyampaikan tentang putusan Munas Alim Ulama NU pada 2012. Jadi normatif saja.

Baca juga: Ketum Persis Ingatkan Risiko di Balik Kedatangan Timnas Israel ke Indonesia

Buya Said hanya menyampaikan ada putusan soal itu. Hal inilah yang harus dicermati oleh PBNU bagaimana melihat kasus yang terjadi belakangan ini. Di sinilah pentingnya literasi. Duduk menjadi pengurus bukan sekadar kursi dan kuasa.

Tapi di dalamnya ada amanah dan tanggung jawab. Karena itu, persoalan ini bukan soal bagaimana posisi NU di hadapan penguasa. Hal itu sudah cristal clear menjadi sikap dasar NU dan tradisi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maupun tradisi Asy’ariah.

Saya khawatir Jusuf Hamka tak paham sama sekali soal ini. Apalagi diksi yang ia pilih begitu gegabah: “provokasi”. Dan juga menggurui melalui diksi “bijaksana”.

Seorang kiai itu harus ‘alim. Bukan sekadar berilmu, tapi juga warotsatul anbiya. Tugas Rasulullah itu bukan sekadar menyampaikan melainkan juga memimpin. Di sinilah pentingnya mata batin seorang ulama: memahami sikap batin umatnya.

Kasus Mario ini membuka mata kita semua tentang praktik pegawai pajak kita, yang belum berhenti menyeleweng dan menggelapkan seperti terjadi pada diri seorang Gayus. Ini masih seperti puncak gunung es. Karena itu, jangan bersembunyi di balik kata oknum sebelum melakukan penyelidikan menyeluruh. 

 

Itulah tugas dan tanggung jawab seorang Mustasyar. Dan tugas menjadi seorang pengurus NU untuk bisa menjadi mata batin umat dan seluruh rakyat Indonesia: bahwa kita tidak sedang baik-baik saja dalam atmosfer aparat pajak kita.      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement