REPUBLIKA.CO.ID, KIGALI -- Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia diperingati setiap 15 Maret. Melansir New Times, Kamis (15/3/2023) peringatan tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran akan isu diskriminasi dan kebencian yang berkembang terhadap Islam dan Muslim di seluruh dunia.
Ini adalah pertama kalinya hari tersebut diperingati secara internasional sejak adopsi resolusi Majelis Umum PBB pada 2022 dengan suara bulat. Mereka menyatakan 15 Maret sebagai Hari Internasional, menyerukan dialog global yang mempromosikan toleransi, perdamaian, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keragaman agama PBB menandai hari itu pada 10 Maret.
Islamofobia adalah ketakutan, prasangka, dan kebencian terhadap umat Islam yang mengarah pada provokasi, permusuhan, dan intoleransi dengan cara mengancam, melecehkan, melecehkan, menghasut, dan mengintimidasi umat Islam dan non-Muslim, baik di dunia daring maupun luring.
Di Rwanda, komunitas Muslim bergabung dengan seluruh dunia dalam memperingati hari ini, dengan rasa terima kasih atas pendekatan negara tersebut terhadap pemerintahan dan kebebasan beragamanya tanpa bias terhadap agama apa pun.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menekankan pentingnya memerangi ujaran kebencian dan mempromosikan pemahaman dan penghormatan terhadap semua agama dan budaya. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres pun memberikan pernyataan mengenai hal tersebut.
"Kita harus bersatu melawan kebencian dan segala bentuk diskriminasi, dan bekerja sama untuk mempromosikan inklusi, keragaman, dan rasa hormat untuk semua," ujar Guterres.
Sebelum pembebasan Rwanda pada 1994, umat Islam telah kehilangan banyak hak mereka, namun, mereka mendapatkan kembali hak mereka setelah pembebasan. Dalam sebuah wawancara dengan The New Times, Wakil Mufti Rwanda Sheikh Swaleh Nshimiyimana, mengungkapkan penghargaannya atas upaya negara tersebut untuk memerangi Islamofobia pada periode pasca-genosida. Dia mencatat bahwa sebelum Genosida 1994 terhadap Tutsi, Muslim di Rwanda ditolak haknya dan sering menghadapi diskriminasi.
“Anak-anak terpaksa mengganti nama Muslim mereka hanya agar mereka bisa bersekolah," ujar Syekh Nshimiyimana.
Namun, pemerintah telah mengambil langkah signifikan untuk memastikan hak komunitas Muslim dilindungi dan mereka dapat menjalankan keyakinan mereka dengan bebas tanpa takut akan penganiayaan. Nshimiyimana mengimbau para pemuka agama di Rwanda bergandengan tangan mendidik jamaahnya masing-masing untuk menunjukkan cinta dan dukungan satu sama lain.
Dia menekankan semua agama di Rwanda kini bekerja sama dan saling membantu dalam kegiatan sehari-hari. Dalam pesannya kepada komunitas Muslim di Rwanda dan sekitarnya, Syekh Nshimiyimana mendorong mereka menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab.
Dia menekankan pentingnya mematuhi ajaran Alquran dan hidup sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Dia mendesak umat Islam menjadi panutan yang baik dan berkontribusi secara positif kepada komunitas mereka sehingga orang tidak mendiskriminasi mereka.
Wakil Mufti menekankan dengan menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan aktif, umat Islam dapat berkontribusi pada perkembangan dan kemajuan Rwanda sebagai sebuah bangsa. Menurut sensus penduduk dan perumahan Rwanda kelima, muslim berjumlah sekitar dua persen dari penduduk Rwanda, dan mereka telah hidup rukun dengan kelompok agama lain di negara tersebut.
Pemerintah juga telah melakukan upaya signifikan untuk mempromosikan toleransi dan keragaman beragama, memberikan kesempatan dan perlindungan yang sama kepada semua kelompok agama. Menurut Muslim setempat, contoh inklusivitas dan toleransi Rwanda terhadap semua agama menjadi inspirasi bagi negara lain untuk mengikutinya. Namun, perang melawan Islamofobia dan diskriminasi terhadap umat Islam harus terus berlanjut secara global.
"Orang-orang harus bekerja sama untuk mematahkan stereotip dan mempromosikan inklusi, keragaman, dan rasa hormat untuk semua," ujar Guterres.