Ahad 05 Mar 2023 19:29 WIB

Sinergitas Zakat dan Pajak

Dengan zakat, 300 ribu mustahik berhasil terentaskan.

Nur Efendi, Board of Trustee Rumah Zakat, Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UNISBA Bandung.
Foto: Istimewa
Nur Efendi, Board of Trustee Rumah Zakat, Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UNISBA Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Nur Efendi (Board of Trustees Rumah Zakat, CEO Rumah Zakat 2011-2022, Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UNISBA Bandung). 

Memasuki Maret ini, setiap tahunnya sebagian besar masyarakat Indonesia mulai melaporkan SPT tahunannya terkait laporan penghasilan, pajak dan harta kekayaan mereka. Lebih khusus tahun ini, isu tentang pajak menyeruak menjadi perbincangan masyarakat setelah harta kekayaan salah satu pegawai Direktorat Jenderal Pajak di Kementerian Keuangan menjadi sorotan publik.

Akibat isu itu, sebagian pihak mulai mempertanyakan urgensi pajak, sedangkan pada sisi lain masyarakat pun membandingkan pajak dengan instrumen pemungutan dana publik lainnya seperti zakat. Jika kita telisik lebih dalam, tujuan besar antara zakat dan pajak sangatlah beririsan, yaitu untuk berkontribusi menyelesaikan permasalahan ketimpangan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, walaupun ada beberapa perbedaan antara zakat dan pajak tetapi juga ada irisan persamaannya.

Dalam praktiknya, distribusi dan pengumpulan zakat dapat diberikan langsung baik kepada penerima manfaat (mustahik) dan juga kepada amil (pengelola) zakat, sesuai dengan ketentuan dalam Fatwa MUI No. 8 tahun 2011 tentang Amil Zakat, dan Undang-Undang Zakat No. 23 tahun 2011 (baca tulisan penulis pada Republika, ‘Mengapa Zakat Melalui Lembaga’, 12/01/2023).

Sementara dalam pajak, fungsi pemungutannya dilakukan oleh negara melalui Direktorat Jenderal Pajak. Zakat merupakan kewajiban (Rukun Islam) bagi setiap muslim yang sudah menjadi wajib zakat (muzaki) dan secara khusus diperuntukkan untuk delapan asnaf (golongan) seperti fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil.

Tujuan zakat ini, dalam Alquran surat At-Taubah ayat 103 disebutkan untuk membersihkan harta dan menyucikan jiwa. Dengan berzakat, bagi umat Islam diyakini akan tumbuh keberkahan dalam kehidupannya.

Tak mengherankan jika potensi zakat di Indonesia tercatat hingga Rp 327 triliun (Baznas, 2022). Karena setiap umat Islam tentunya berlomba-lomba ingin membersihkan harta dan jiwa dengan berzakat. Di Indonesia, pertumbungan zakat terus meningkat dengan semakin bertambahnya pengumpulan zakat dan lembaga-lembaga zakat sebagai sarana bagi masyarakat muslim untuk menunaikan kewajibannya. 

Dalam penelitian yang dilakukan (Puzkas Baznas, 2020), tercatat lebih dari 300 ribu mustahik yang berhasil terentaskan dari garis kemiskinan, sehingga 44 persen mustahik fakir miskin tidak lagi berada di dalam garis kemiskinan setelah Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan BAZNAS berkolaborasi menggunakan dana zakat untuk program pendayagunaan mustahik.

Pun sama yang disampaikan di public expose LAZ Rumah Zakat 2023, sebesar 19,5 persen mustahik yang keluar dari garis kemiskinan, yang diintervensi program pemberdayaan ekonomi Rumah Zakat. Riset ini menunjukkan bahwa zakat sangat berperan penting dalam kontribusi pengentasan kemiskinan, dan ini tentu saja selaras dengan tujuan pajak itu sendiri.

Dengan demikian, zakat tidak berada dalam posisi berhadapan dengan pajak, melainkan salah satu instrumen pengumpulan dana publik yang ditujukan untuk kemaslahatan bersama. Dengan konsep inilah, pemerintah berusaha menyinergikan antara zakat dan pajak yang diatur dalam UU Zakat No. 23 Tahun 2011 dan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Dalam Pasal 22 UU Zakat, disebutkan bahwa zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Untuk itu, BAZNAS dan LAZ berkewajiban memberikan bukti setoran zakat kepada muzaki. Bukti setoran itu digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Tata cara pengurangan penghasilan kena pajak ini diatur dalam PP No. 18 tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan, Keputusan Dirjen Pajak No. 163 tahun 2003 tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Pajak Penghasilan, dan regulasi lainnya. Semua itu bertujuan agar memudahkan muzaki dalam menunaikan zakat, sekaligus mengurangi kewajiban atas pajak penghasilan mereka.

Secara mudah, muzaki dapat membayar zakat kepada LAZ atau BAZNAS yang memiliki legalitas dan tercatat resmi, untuk mendapatkan Bukti Setor Zakat (BSZ) yang kemudian akan dilampirkan pada laporan SPT tahunan.

Profesionalitas dan Kolaborasi

Baik zakat maupun pajak harus dikelola secara profesional agar tujuan besar keduanya dapat tercapai. Dalam hal ini, pengawasan kedua instrumen itu sudah diatur dalam undang-undangnya masing-masing. Kepercayaan publik untuk menyalurkan zakat dan pajaknya kepada pengelola zakat dan pajak merupakan tantangan yang harus dibuktikan dengan asas kepatuhan dan asas kepatutan.

Artinya, setiap pengelola zakat maupun pajak harus patuh kepada regulasi seperti memastikan dana dikelola secara profesional dan sesuai ketentuan agama, regulasi serta peka terhadap norma sosial di masyarakat. 

Untuk mewujudkan hal itui , ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dan dikolaborasikan antara pengelolaan zakat dan pajak. Pertama, aturan zakat pengurang pajak tentu dapat meningkatkan pengumpulan zakat, dan pada ujungnya akan berdampak langsung kepada mengurangi ketimpangan dan pengentasan angka kemiskinan.

Hal ini sangat memungkinkan karena zakat dan pajak berjalan beriringan, tidak saling tumpang tindih sehingga masyarakat merasa tidak terbebani harus membayar dua hal kewajibannya sekaligus. Bahkan bukan tidak mungkin, suatu saat zakat secara langsung dapat mengurangi pajak, bukan hanya penghasilan kena pajak.

Kedua, diperlukan penguatan koordinasi antar stakeholder. LAZ, BAZNAS, Kementerian Keuangan, Kementerian Agama dan lembaga-lembaga terkait lainnya, perlu duduk bersama merancang blueprint ekonomi Indonesia, dan berbagi peran bersama agar kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.

Koordinasi ini dapat dilakukan untuk menguatkan data, merumuskan regulasi bersama, penguatan pengawasan dan pembinaan lembaga-lembaga zakat, hingga menjalankan program bersama untuk pengentasan kemiskinan.

Terakhir, yaitu penguatan kolaborasi. Saat ini, potensi zakat yang begitu besar belum optimal. Dengan kolaborasi antara unsur pengelola zakat dan pajak, program pengentasan kemiskinan dari pemerintah dapat berjalan dengan baik.

Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas resmi, tentunya memiliki informasi jumlah harta kekayaan setiap individu ataupun perusahaan di Indonesia. Dengan terjalinnya kolaborasi, organisasi pengelola zakat dapat secara optimal mengumpulkan zakat dari para muzaki, sehingga target zakat nasional yang dicanangkan pemerintah dapat terpenuhi.

Kolaborasi ini dirasa sangat penting, karena zakat sebagai salah satu instrumen keuangan syariah, pada satu sisi akan memperkuat ekonomi nasional, dan pada sisi lain ghirah masyarakat untuk berzakat dan membayar pajak sekaligus terus bertambah dengan terjalinnya sinergitas antara pajak dan zakat.

Hal ini akan meminimalisasi tumpang tindih program pengentasan kemiskinan, yang sama-sama dilakukan dari hasil pengumpulan zakat dan pajak. Dan tentu yang kita harapkan adalah harta semakin berkah, dan negeri ini menjadi negeri yang Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur. Aamiin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement