REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Menteri Dalam Negeri Inggris Suella Braverman memberikan tanggapan soal kasus yang bermula dari salah satu siswa di Kettlethorpe High School di Wakefield, West Yorkshire, yang membawa Alquran ke sekolah pada 23 Febrari lalu.
Siswa tersebut diduga menjatuhkan Alquran sehingga ada halaman yang robek dan kotor. Braverman menyampaikan keprihatinannya yang mendalam atas kasus tersebut dan menilai kasus itu bisa menimbulkan masalah kebebasan berbicara yang lebih luas.
Dia mengatakan, sekolah bertanggung jawab kepada siswa dan orang tua. "Mereka tidak harus menjawab aktivis komunitas yang ditunjuk sendiri. Saya akan bekerja dengan Departemen Pendidikan untuk mengeluarkan panduan baru yang menjelaskan hal ini," kata dia, seperti dilansir Sky News, Ahad (5/3/2023).
Siswa itu membawa Alquran ke sekolah untuk menebus kekalahannya main video game Call of Duty melawan beberapa teman sekolahnya. Atas kasus ini, empat siswa yang terlibat telah diskors.
Ibu dari anak yang membawa Alquran ke sekolah tersebut, mengatakan anaknya berusia 14 tahun dan mengidap autisme. Setelah kasus ini terjadi, dia mengaku menerima ancaman pembunuhan akibat tindakan anaknya.
Kepala Kettlethorpe High School, Tudor Griffiths mengatakan, penyelidikan awal menunjukkan tidak ada niat jahat dari mereka yang terlibat. Dewan Wakefield mengakui bahwa Alquran tersebut menjadi sedikit rusak.
Polisi setempat juga telah turun tangan. Polisi menggolongkan kasus itu sebagai insiden kebencian non-kejahatan. Disebut demikian karena tidak memenuhi ambang batas tindak pidana.
Mendagri Braverman, dalam sebuah tulisan kolom di media Inggris, tidak senang terhadap cara polisi mencatat kasus tersebut.
Braverman berjanji akan segera mengumumkan pedoman baru untuk polisi. Dia juga mengingatkan, keselamatan fisik anak-anak harus diutamakan.
"Sektor pendidikan dan polisi memiliki kewajiban untuk memprioritaskan keselamatan fisik anak-anak di atas rasa sakit hati orang dewasa," kata dia.
Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah
Braverman juga menyinggung soal video yang menggambarkan pertemuan antara suatu komunitas dengan ibu dari anak yang diduga merusak Alquran.
"(Pertemuan tersebut) lebih mirip persidangan hukum syariat," tuturnya. Karena ibu dari anak tersebut memberi pertanggungjawaban atas perilaku anaknya di tengah kerumunan yang semuanya pria.
"Kami tidak punya undang-undang penistaan agama di Inggris Raya dan tidak boleh terlibat dalam upaya memaksakannya di negara ini. Tidak ada hak untuk tidak tersinggung. Tidak ada kewajiban hukum untuk menghormati agama apapun," tulisnya.
Braverman menyampaikan, penghormatan terhadap kebebasan berbicara berjalan ke arah yang salah. Menurut dia, Muslim semestinya tidak mengharapkan status khusus untuk melindungi agama dari rasa tidak hormat.
"Ada sejarah panjang dan tercela tentang hal itu, setidaknya sejauh kehebohan The Satanic Verses," tulisnya, mengacu pada novel karya Sir Salman Rushdie yang menyebabkan ancaman pembunuhan dari Iran pada 1980-an.
"Ini berakar pada pandangan bahwa umat Muslim secara unik tidak mampu mengendalikan diri mereka sendiri jika mereka merasa terprovokasi. Dan itu telah memaafkan para agitator yang menggunakan rasa takut untuk memaksa orang tunduk pada tuntutan mereka," katanya.
Sumber: sky.com