REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB -- Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan 1444 Hijriyah, umat Islam di Suriah meratapi masjid yang hancur akibat gempa bumi. Kini, mereka tidak memiliki tempat lagi untuk melaksanakan ibadah selama Ramadhan.
Setelah diguncang gempa bumi pertama pada 6 Februari warga desa Maland di Kota Iblid ketakutan untuk pergi ke masjid. Namun, saat mengunjungi masjidnya, mereka terkejut menemukan seluruh bangunan masjid hancur dan roboh. Kubahnya yang berwarna emas juga tergeletak di tanah.
“Saya biasa pergi ke masjid ini dengan ayah saya, dan dia biasa pergi dengan kakek saya, itu satu-satunya di desa,” kata Maher Zaarour (37 tahun) dikutip dari Aljazirah, Sabtu (25/2/2023).
Saat mengunjungi masjid yang telah hancur itu, Zaarour berkumpul dengan penduduk desa lainnya di ruang terbuka yang dipenuhi puing-puing untuk melakukan shalat Jumat bersama. Mereka berdiri di tengah-tengah bangunan masjid tua yang roboh itu.
“Ini sangat tua, dan sudah sering diperbaharui. Semua orang di desa berkontribusi untuk memperbaikinya. Bahkan para wanita akan pergi dan melapisi dinding masjid. Ini rumah Allah, kita semua punya kenangan di sini. Kami belajar Alquran di sini sebagai anak-anak," ucapnya.
Untungnya, masjid itu sedang kosong ketika roboh karena gempa. Bencana itu terjadi jauh sebelum sholat Subuh, dan tidak ada yang datang untuk membuka masjid dan mempersiapkan jamaah.
Tetapi penduduk desa Maland sangat merasakan ketidakhadiran masjid. Karena itu, mereka pun berupaya mengumpulkan sumbangan agar masjid itu bisa dibangun lagi.
“Kami tidak ingin rumah kami kembali, kami hanya ingin ini, rumah Allah, kembali seperti semula, sehingga warga desa bisa shalat lagi di sana,” kata Zaarour.
Hal senada juga disampaikan warga desa lainnya, Mahmoud Aref Nadaf (74 tahun). Ia telah tinggal di sebelah masjid itu sekitar 50 tahun. Ia pun mengaku sangat merindukan keberadaan masjid itu, bahkan lebih dari rumahnya yang telah hancur.
“Saya berada di kamar terdekat masjid ketika gempa terjadi, antara tidur dan bangun. Tembok barat masjid menimpa kami, tingginya sekitar 15 meter. Batu-batu besar jatuh ke kamar tempat saya tidur,” jelas Nadaf.
Adalah sebuah keajaiban baginya bisa selamat dari bencana gempa bumi itu. Ia meyakini yang menyelamatkannya adalah Allah SWT.
“Saya tidak pernah menyakiti seseorang atau menyimpan niat buruk di hati saya terhadap siapa pun, itu sebabnya Allah menyelamatkan saya,” kata Nadaf sambil duduk di atas tumpukan puing di dekat masjid.
“Saat tidak punya kesibukan, saya selalu di masjid. Itu sangat berarti bagi orang-orang desa. Itu adalah tempat berlindung, tempat berdoa, belajar, berkumpul, dan pengajian. Sekarang sudah hilang, tidak ada yang bisa menggantikannya,” imbuhnya.
Ketua Dewan Maland Ahmed Abazli mengatakan akibat gempa itu 34 orang warganya meninggal dunia. Bencana itu juga merusak 90 persen bangunan rumah di desa, dengan 198 keluarga kehilangan seluruh rumah mereka dan sekitar 320 rumah rusak parah dan tidak dapat dihuni.
“Ramadhan akan segera tiba dan kami tidak memiliki masjid, jadi kami telah meluncurkan kampanye untuk mengumpulkan sumbangan dari penduduk desa dan kami berharap juga dapat segera menerima bantuan untuk membangun kembali,” katanya kepada Aljazirah.
Setelah gempa terjadi, menurut dia, warga desa kemudian datang ke masjid untuk menunaikan sholat subuh, tapi warga desa kaget saat melihat masjid mereka sudah hancur. “Saya pikir jiwa orang sangat terpengaruh oleh ini," jelasnya.
Imam masjid di Maland, Adel al-Sheikh, yang juga hadir di lapangan terbuka untuk memimpin shalat Jumat mengungkapkan bahwa kehancuran masjid merupakan kerugian besar bagi desa berpenduduk 7.000 orang itu.
“Saya sudah menjadi imam di sini selama tiga tahun, meskipun desanya besar, hanya ada satu masjid yang mengumpulkan semua orang desa, terutama pada hari Jumat ketika sekitar 1.500 jamaah shalat di dalamnya,” katanya.