Sabtu 25 Feb 2023 12:04 WIB

Probelamatika Umat Islam: Ketimpangan Ekonomi, Politik, Islamofobia, Hingga SDM

Problematika dan Tantangan Umat Islam di Indonesia: Kini dan Esok

Majis taklim. (ilustrasi)
Foto:

Cerita Qatar di atas adalah sebuah kondisi ideal, di mana sebuah peradaban dari sebuah bangsa terkait erat dengan identitas masyarakat tersebut. Agama adalah ajaran yang membentuk peradaban, di dunia yang masih mengakui agama, seperti Qatar. Sebaliknya, kekuatan pikiran atau rasionalitas, menjadi pembentuk peradaban di barat selama 300 tahun belakangan ini.

Begitu juga di RRC sejak Partai Komunis memimpin negara tersebut. Negara-negara, seperti Indonesia, terjebak dalam ketidakpastian karena tidak memilih apakah menggunakan peradaban berbasis agama atau peradaban berbasis pikiran manusia. Ini adalah problematika dan sekaligus tantangan laten yang ada. 

Dalam tataran yang lebih kontemporer, saat ini sesungguhnya umat Islam di Indonesia menghadapi banyak tantangan, antara lain 3 hal berikut: 1) Islamophobia, 2) Ketimpangan Sosial, 3) Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM).

Islamophobia adalah prasangka buruk terhadap Islam dan ajaran Islam oleh negara atau penyelenggara negara, serta sekelompok elit sosial lainnya. Mengapa ini bisa terjadi? Berbagai kalangan yang tidak percaya adanya Islamophobia di negara mayoritas Islam ini tidak melihat dari sisi Islam sebagai ajaran dinamis, disamping tentunya kelompok-kelompok yang memang membenci dominasi Islam sebagai ajaran kehidupan. Orang-orang yang statis, melihat Islam hanya sebagai ajaran liturgis, sebagai ibadah personal kepada tuhan, sebagaimana disampaikan guru-guru mereka melalui kitab-kitab mereka.

Berbagai fenomena baru, baik dalam istilah purifikasi, maupun dinamika penafsiran baru, karena berkembangnya sains dan teknologi, telah menghadirkan ajaran Islam dalam tafsir-tafsir yang dinamis. Fenomena ini selalu ada dan terus menerus berkembang untuk menghadapi tuntutan jaman yang ada. Bahkan, seringkali pula sebuah tafsir yang dinamis mampu membangkitkan spirit baru dari pemeluk Islam. Dr Imaduddin Abdurrahim, misalnya, beberapa dekade lalu, di Masjid Salman ITB, berusaha memberi tafsir kesesuaian Islam dengan sains dan teknologi. Hal ini memberi dampak bagi keyakinan mahasiswa di ITB dan lalu di Indonesia untuk menolak ajaran sekuler, yang memisahkan agama dan sains dan teknologi.  

Negara atau penyelenggara negara yang tidak suka dengan kebangkitan Islam, selalu berupaya mengintai (surveillance) berbagai perkembangan Islam dengan pendekatan yang bias, yakni untuk menghentikan kebangkitan Islam tersebut. Elit-elit ekonomi, atau oligarki, yang tidak menginginkan Islam di Indonesia bangkit, tentu juga akan mensponsori pengkebirian kemunculan Islam tersebut. Hal itu yang kita lihat menonjol, di mana penyelenggara negara dan segelintir elit ekonomi bersekutu menyingkirkan Islam dari panggung kekuasaan.

Berbagai stigmatisasi radikal disuarakan oleh kekuatan mereka, baik melalui tangan negara maupun kekuatan media sosialnya (buzzer, dll). Kita misalnya melihat narasi pembubaran acara ibadah agama tertentu di Lampung baru-baru ini, yang memperlihatkan seolah-olah umat Islam anti pada agama lain.

Sayangnya, negara, dalam hal ini menteri agama, langsung menerima narasi yang menyudutkan Islam. Padahal, seharusnya, urusan seperti itu, peranan negara adalah mendudukkan perkara dalam konstruk keadilan yang tidak memihak. Contoh-contoh lainnya yang ekstrim, seperti kriminalisasi dan penangkapan ulama, selain aktifis pro-demokrasi, sudah kita ketahui sepanjang beberapa tahun ini. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement