Pengulangan tindakan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan tentang kepuasan beberapa pemerintah dalam mengekang fenomena Islamofobia dan kegagalan mereka mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghentikan provokasi dan menghukum para pelaku dengan dalih kebebasan berekspresi.
Islamofobia didefinisikan sebagai ketakutan atau kebencian terhadap Islam, yang sering diterjemahkan menjadi sikap tidak toleran, diskriminasi yang disengaja, dan serangan langsung terhadap umat Islam.
Sekretaris Jenderal OKI Hissein Brahim Taha mengatakan tindakan ini tidak hanya tidak bertanggung jawab tetapi juga tindakan kriminal yang menargetkan umat Islam. “Pemerintah terkait harus mengambil tindakan tegas, apalagi mengingat seringnya tindakan provokatif yang dilakukan oleh orang yang sama,” katanya.
“Tindakan keterlaluan, ini adalah bukti lebih lanjut dari tingkat mengkhawatirkan yang dicapai oleh fenomena Islamofobia, kejahatan rasial, intoleransi, dan xenofobia. Hal ini membuat kami percaya kami harus mengambil tindakan segera untuk mencegah terulangnya insiden provokatif semacam itu di masa depan," kata Taha.
Taha mengatakan pesan yang kuat harus dikirim ke semua pemerintah, institusi dan individu untuk mengklarifikasi tindakan ini tidak dapat dibenarkan di bawah kebebasan berekspresi. Dia menyoroti banyak hukum internasional, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dengan jelas mengatur kebebasan berekspresi bukanlah hak tanpa batas, karena melibatkan tugas dan tanggung jawab khusus.
Perwakilan tetap Turki untuk OKI Mehmet Metin Eker, mengatakan Turki mengutuk keras agresi terhadap Alquran baru-baru ini. Sayangnya, kegagalan otoritas Swedia untuk mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan terhadap serangan terhadap Alquran pada 21 Januari telah mendorong beberapa serangan di Belanda dan Denmark sesudahnya.