REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Citra Islam di negara-negara non-Muslim tidak selalu mulus. Dalam perjalanannya, beragam kondisi dan situasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan citra Islam.
Ketua PCI Muhammadiyah Jepang Ridwan Wicaksono mengatakan, Islam di Jepang perlahan namun pasti sudah diakui dan masuk dalam bagian masyarakat Jepang. Berbagai masjid di daerah kota telah didirikan sebagai sarana penunjang syiar dan dakwah Islam.
“Contohnya di daerah kami Chiba, ada Chiba Islamic Cultural Center (CICC) menyelenggarakan kegiatan "tonari no Muslim", program ramah tamah dengan tetangga yang beragama lain. Melalui program ini, Islam dikenalkan secara baik, menyeluruh dan banyak sekali masyarakat Jepang yang melihat Islam sebagai agama yang santun, bermanfaat, bahkan sesuai dengan budaya Jepang dalam beberapa hal. Sehingga citra Islam semakin diterima oleh berbagai kalangan masyarakat Jepang,” kata Ridwan dikutip dari Republika.id.
Namun demikian, kata dia, mayoritas masyarakat Jepang masing menganggap umat Islam itu "kibishi" atau ketat aturan, sehingga presentase umat Islam di Jepang sangat kecil yakni sekitar 1 persen dan masih didominasi kaum imigran dan pelajar asing.
Beberapa faktor utama yang berpengaruh terhadap citra islam adalah persoalan makanan halal, waktu dan tempat shalat, serta pakaian.
Tiga hal tersebut yang paling mudah diidentifikasi masyarakat Jepang untuk menentukan seseorang berstatus muslim atau bukan.
Sebenarnya, dia mengatakan, ketiga faktor tersebut tidak mengganggu dan tidak terlalu dipedulikan masyarakat Jepang.
Namun, ketika ada permintaan khusus dalam acara bersama, seorang Muslim perlu menyampaikan dengan adab dan bahasa yang baik.
Contohnya saat meeting dan perlu menunaikan shalat Jumat atau permintaan makanan halal dan alat saji yang terpisah. Saat ini, kata dia, banyak kalangan sudah memahami kebutuhan umat Muslim, sehingga banyak ditemui toko-toko yang sengaja menyiapkan makanan halal, tempat sholat di universitas, bahkan salon khusus Muslimah.
Di samping itu, faktor pendukung yang membentuk citra Islam adalah pergaulan dan interaksi sosial yang mana memperlihatkan Islam bukanlah agama yang menakutkan. Sehingga menurutnya, di wilayah kawasan padat penduduk, umat Muslim sudah melebur dengan aktivitas warga Jepang secara umum yang mana kesan Islamofobia sudah tereduksi.
Yang menjadi persoalan adalah kelompok masyarakat yang tidak melek informasi dan masih merekam kejadian-kejadian teror yang yang dilakukan sebagian golongan orang Islam. Kesan ini dinilai biasanya dimiliki oleh orang-orang yang tertutup dalam pergaulan.
Namun demikian, dia mengatakan, suburnya pendirian masjid-masjid di berbagai wilayah di Jepang menunjukkan bahwa mayoritas warga Jepang sudah menerima Islam dengan baik.
Untuk itu dia melihat bahwa dakwah Islam di Jepang memiliki kekhasan tersendiri. Menurutnya, mayoritas orang Jepang tidak melihat Islam dari teks buku atau majalah, namun melihat dari personality Muslim itu sendiri.
“Ada ‘basic rule’ yang dimiliki warga Jepang, yang mana sebenarnya selaras dengan akhlak muamalah Islam. Contohnya, hidup bersih dan disiplin, menjaga lingkungan dari sampah, hidup sehat dan seimbang, profesional, jujur setulus hati, selalu berusaha menjadi lebih baik, serta menjaga harmoni. Aturan-aturan tersebut telah ditanamkan sejak jenjang taman kanak-kanak sehingga masyarakat Jepang berkarakter pantang menyerah, meskipun progressnya perlahan,” ujarnya.
Masyarakat Jepang dinilai menghargai budaya kerja keras dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk taat aturan.
Baca juga: Islam akan Jadi Agama Mayoritas di 13 Negara Eropa pada 2085, Ini Daftarnya
Karakter itulah yang menurut dia perlu ditunjukkan umat Muslim bahwa ketauhidan tidak hanya dibangun saat beribadah, namun juga harus menuntun seorang Muslim menjadi personal yang berkualitas dalam bermasyarakat sehingga Islam dipandang sebagai agama yang menuntut masyarakat yang berkemajuan, bermanfaat, serta menjunjung tinggi nilai moral.
Islam masuk ke Jepang melalui berbagai jalur, mulai dari jalur diplomatik, perdagangan, pendidikan, bahkan perkawinan. Untuk itu menurut Ridwan, dakwah Islam yang paling mudah diterima masyarakat Jepang adalah dakwah yang ramah dan bermanfaat. Nilai-nilai yang implementatif dan terasa dampak positifnya sangat diperlukan dalam menjelaskan soal Islam kepada warga yang mayoritas apatis terhadap agama.
“Contohnya manfaat sholat secara ilmiah untuk meredam stress, keunggulan makanan halal, serta dampak akhlak yang baik terhadap keluarga dan tetangga. Hal tersebut hanya sebagian dari aktivitas dakwah yang bersifat person-to-person. Dalam hal dakwah terbuka, berbagai komunitas Muslim Jepang mulai semarak menyelenggarkan festival Islam dengan berbagai rangkaian kegiatan, seperti praktek memakai hijab dengan benar, memperkenalkan Alquran berbahasa Jepang, seni bela diri Islam, khitan masal, serta makan-makan bersama,” ungkapnya.