Senin 23 Jan 2023 11:50 WIB

Terkait Pembakaran Alquran di Swedia, Apa Hukum Islam terkait Pembakaran Alquran?

Aksi pembakaran Alquran di Swedia mengundang reaksi dunia.

Demonstran mengecam aksi pembakaran Alquran.
Foto: EPA-EFE/SEDAT SUNA
Demonstran mengecam aksi pembakaran Alquran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama ini kita dihebohkan oleh aksi politisi ekstrem Rasmus Paludan yang membakar Alquran di depan kedutaan Turki, Stockholm Swedia. Aksi ini mengundang reaksi dunia. Tokoh mulai kepala negara, politisi, pegiat dakwah, cendekiawan pro Muslim dan sekuler, semuanya mengecam aksi biadab itu.

Lalu bagaimana hukum Islam terkait membakar mushaf Alquran? Republika pernah membuat konten tentang itu pada 2020. Berikut kami tampilkan lagi.

Sebagai firman Allah SWT,  tak ada keraguan apa pun dalam Alquran. Firman atau perkataan Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi SAW tersebut pun sampai kepada umat setelah zaman kenabian secara mutawatir.

Sebagai wahyu, Alquran dihafalkan Nabi SAW dan para sahabat. Kitab suci terakhir ini lantas dikumpulkan dan ditulis di dalam mushaf atau lembaran. Dengan demikian, wahyu Allah yang semula berbentuk perkataan lalu berbentuk tulisan tersebut kita sebut mushaf Alquran.

Sebagai Muslim, kita mempunyai kewajiban terhadap Alquran, yaitu mengimaninya, membacanya, mempelajarinya, dan mengamalkannya. Kita pun wajib untuk berpedoman kepada Alquran, bahkan mendakwahkan dan mengajarkannya. Tidak heran jika sebagai Muslim, kita harus hormat dan menghargai Alquran, termasuk mushafnya. Mushaf Alquran harus diletakkan di tempat yang tinggi dan mulia supaya tidak terhina atau dihinakan orang. Meski demikian, ada kalanya mushaf Alquran mengalami kesa lahan penulisan di dalamnya.

Kondisi lain, Alquran tersebut telah rapuh karena dimakan usia atau lusuh atau koyak karena sering dibaca sehingga tidak bisa dibaca atau dimanfaatkan lagi. Mushaf ini pun berisiko untuk terinjak, tercampur dengan barang lain, bahkan bisa terkena kotoran najis. Ada dua solusi cara yang bisa dilakukan. Yaitu, pertama, dengan cara ditanam dalam tanah dan opsi kedua ialah di bakar.

Mazhab Hanafi dan Hanbali memopulerkan yang pertama. Mushaf yang rusak dan sudah tak lagi terpakai bisa ditanam dalam tanah. Al-Hashkafi, salah seorang imam bermazhab Hanafi dalam kitab ad-Durr al-Mukhtar menjelaskan, layaknya seorang Muslim, ketika tak lagi bernyawa, maka ia akan dikubur di tanah. Perlakuan yang sama juga berlaku untuk mushaf Alquran. Bila sudah rusak dan sulit terbaca, hendaknya dibenamkan di tanah. Lokasi penguburan mushaf tersebut bukan berada di jalan yang sering dilalui orang.

Imam Ahmad, seperti yang dinukil al-Bahwati dalam kitab Kasyf al-Qanna', pernah berki sah, ketika itu Abu al-Jauza' me miliki mushaf yang telah usang dan tak laik. Abu al-Jauza' akhir nya mengubur mushaf tersebut di salah satu sudut masjid. Pan dang an yang sama diutarakan juga oleh Syekh Ibnu Taimiyyah. Penguburan mushaf rusak adalah bentuk penghormatan. Sebagai mana manusia sewaktu meninggal dimakamkan di lokasi yang aman.

Sedangkan, alternatif cara yang kedua ialah dibakar. Opsi pembakaran mushaf Alquran yang rusak ini banyak diadopsi di kalangan Mazhab Maliki dan Syafi'i. Dasar pendapat mereka merujuk keputusan Khalifah Us man bin Affan yang membakar mus haf. Seperti dinukil dari Bu khari dalam kitab hadis sahihnya, Usman meminta Hafshah menye rahkan mushaf yang ia simpan. Khalifah ketiga itu pun lantas menginstruksikan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al-'Ash, dan Abudur rah man bin al- Harits bin Hisyam untuk mengopi mushaf itu.

Setelah proses kodifikasi selesai, Usman memerintahkan mushaf-mushaf yang berada di tangan sejumlah sahabat untuk dibakar. Hal ini ditempuh guna mencari titik mufakat dan penyeragaman mushaf. Mush'ab bin Sa'ad, sebagaimana dinukil dari kitab al- Mashahif, menjelaskan, publik kala itu tidak setuju dengan opsi pembakaran dan mendukung gagasan Usman.

Peristiwa tersebut oleh Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulu mul Qur'an dijadikan sebagai dasar diperbolehkannya membakar mushaf yang rusak. Ia ber pandangan, bila lembaran-lembaran itu rusak, tidak boleh ha nya diselamatkan dengan meletakkan di tempat tertentu. Hal ini di khawatirkan jatuh dan akan terinjak. Opsi menyobek juga ku rang tepat. Pasalnya, sobekan masih menyisakan beberapa hu ruf atau kalimat. Ini bisa lebih fatal akibatnya. Dibakar? Solusi ini jauh lebih baik, menurutnya. Tindakan sama yang dilakukan oleh Usman.

Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Lajnah al-Fatawa ad-Daimah) dalam kompilasi fatwanya menyebutkan, mushaf yang tak lagi terpakai, kitab, dan kertas-kertas di mana tertulis ayat-ayat Alquran, maka hendaknya dikubur di tempat yang layak, jauh dari lalu lintas manusia atau lokasi yang menjijikkan. Opsi lain yang bisa ditempuh ialah dibakar. Hal ini sebagai bentuk penghormatan dan menghindari perendahan Alquran.

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah pun menegaskan, apa yang dibakar dalam konteks ini adalah mushaf atau lembarannya, bukan Alquran. Membakar mus haf Alquran di sini bukan untuk menghinakannya, tapi justru untuk menjaga kemuliaannya. Dasarnya adalah untuk kemaslahatan.

Jadi, selagi membakar itu ada maslahat atau kebaikan bagi Alquran, maka hal itu dibenarkan. Maslahatnya di sini ialah menjaga kemuliaan Alquran agar lembaran mushaf Alquran yang telah rapuh atau rusak tersebut tidak berserakan di sembarang tempat atau digunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya.

Dasar lain yang membenarkan membakar mushaf Alquran adalah sadd adz-dzari'ah, yaitu menutup jalan menuju kepada kerusakan. Artinya, daripada mus haf Alquran terhinakan atau dihinakan karena telah rapuh dimakan usia dan tidak bisa di baca lagi, lebih baik dibakar su paya tidak terbiarkan, terinjak, atau dibuang di tempat sampah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement