Rabu 04 Jan 2023 22:54 WIB

Mengapa Kita Diperintahkan Qanaah, Neriman Apa Adanya dalam Hidup di Dunia?

Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk senantiasa qanaah dalam hidup

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi qanaah dalam hidup. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk senantiasa qanaah dalam hidup
Foto: Abdan Syakura/Republika
Ilustrasi qanaah dalam hidup. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk senantiasa qanaah dalam hidup

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Bersifat qanaah berarti menerima ketentuan Allah SWT dengan sabar, dan menarik diri dari kecintaan kepada dunia. 

Iman, kesederhanaan, dan qanaah adalah sesuatu yang tidak boleh dipisahkan. Seorang mukmin akan bersikap sederhana dalam hidupnya, dan kesedehanaan itu ditunjukkan daripada sifat qanaahnya. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah berkata: 

Baca Juga

انظروا إلى من أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم؛ فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله

"Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripadamu dan jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi. Itulah kebih kukuh supaya kamu tidak menghina pemberian Allah kepadamu.” (HR Bukhari)

 

Sifat qanaah itu sangat dijunjung Islam, Rasulullah SAW selalu menganjurkan supaya berqanaah dalam kehidupan, yakni merasa puas dan cukup dengan apa yang ada saja.

Apa yang telah ditentukan Allah SWT dari rezeki sehari-hari, syukuri tetapi usaha mestilah diteruskan. Jangan sampai berdukacita akan kekurangan rezeki atau penderitaan hidup, karena itu telah ditakdirkan Allah SWT. 

Segala takdir dan ketentuan dari Allah SWT itu ada hikmatnya. Dia Mahamengetahui, Mahaadil lagi Bijaksana.

Dalam buku Mengobati Penyakit Hati, Meningkatkan Kualitas Diri, karya  Sayyid Mahdi as Sadr, orang yang merasa puas adalah orang terkaya, karena kekayaan tidak membutuhkan manusia.

Orang yang merasa puas adalah orang yang yakin Allah SWT memberikan yang sesuai dengan kebutuhannya, sehingga tidak perlu bergantung kepada manusia.

Dikisahkan seorang tabib terkenal Yunani, Galen (129-199 M) ketika wafat menyimpan selembar kertas dalam sakunya. 

“Kertas tersebut sebuah nasihat yang isinya, segala sesuatu yang engkau peroleh secara cukup adalah untuk kebaikan tubuhmu. Segala sesuatu yang engkau berikan sebagai sedekah adalah untuk kebaikan rohanimu.

Segala sesuatu yang engkau tinggalkan di belakangmu adalah untuk kebaikan orang-orang lain. Orang yang bermurah hati tetap hidup walaupun jasadnya telah berpindah ke alam lain. Orang yang berbuat jahat adalah bangkai walaupun ia masih berada di dunia ini. 

Perasaan puas apa adanya mampu menutupi perbuatan buruk. Sikap moderat justru mampu memperbanyak rezeki. Orang yang merassa puas lebih merasa bahagia, tenang dan lembut dibandingkan orang yang tamak.”  

Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, seorang sastrawan dan penyusun kamus terbaik bahasa arab, Kitabul Ayn, pernah menderita kelaparan diantara orang-orang miskin Basrah, di tengah banyak orang yang mendapatkan keuntungan dari karya yang dihasislkannya. Suatu hari Sulaiman bin Ali al Abbasi memintanya dayang ke Al-Ahwaz untuk mengajar anaknya. 

Al Khalil kemudian menjamu utusan Sulaiman dengan beberapa potong roti kering. Dia juga memberikan jawaban atas undangan Sulaiman. Perkataannya kepada utusan Sulaiman itupun, dia abadikan dalam sebuah syair. 

"Silakan makan roti ini, saya tidak memiliki makanan lain. Selama saya dapat menemukan potongan-potongan roti, saya tidak butuh Sulaiman," ujar dia.   

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement