REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tahun 2023 dihebohkan dengan munculnya istilah resolusi. Diksi tersebut mengandung makna harapan dan cita-cita yang harus diwujudkan pada tahun baru tersebut.
Kaum jomblo kemungkinan akan membuat resolusi untuk menikahi dambaan hatinya. Sedangkan mereka yang berstatus nganggur, kemungkinan akan membuat resolusi mencari pekerjaan: merintis usaha, berkarir sebagai professional, atau menjadi birokrat.
Resolusi pada masa lalu
Puluhan tahun lalu, di tengah situasi Indonesia melawan dan menentang penjajahan, resolusi digaungkan sebagai upaya memerangi penjajahan. Ketika itu, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan ungkapan Resolusi Jihad. Isinya adalah seruan kepada setiap Muslim lelaki untuk angkat senjata melawan penjajah. Resolusi itu dikeluarkan oleh sekumpulan ulama yang dikepalai oleh Hadhratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Dampak resolusi ini sungguh luar biasa. Setiap Muslim termotivasi untuk berperang melawan pasukan sekutu yang menyerang Tanah Air dan hendak menghabisi Pemerintah Indonesia. Pasukan sekutu kualahan menghadapi perlawanan umat Islam, hingga akhirnya mereka kalah telak dalam peristiwa 10 November 1945 atau dua bulan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan dan kebebasan, dan kedaulatannya.
Ini menandakan kata resolusi menjadi energi yang membakar semangat diri menghadirkan perubahan.
Resolusi 2023
Kini, kata resolusi kembali digunakan. Konteksnya bukan lagi melawan penjajahan atau berperang melawan pihak lain, tapi membakar semangat diri untuk melakukan perubahan. Maksudnya adalah perubahan berupa upaya melengkapi kekurangan yang ada pada masa lalu. Juga meneruskan segala yang baik pada masa lalu sampai seterusnya.
Pengkaji Alquran Dr KH Shobahussurur Syamsi menjelaskan, resolusi 2023 yang utama adalah menjadi manusia sempurna alias manusia paripurna. “Insan Paripurna didefinisikan sebagai individu berwatak kemuliaan yang positif, dinamis, progresif, dan reponsif terhadap masalah-masalah di sekitarnya,” kata pengurus Yayasan Al-Azhar tersebut.
Dia cenderung berbuat baik kepada diri sendiri (li nafsihi), berbuat baik kepada sesama (li ghairihi), dan berbuat baik kepada alam semesta (li al-alamin). Insan paripurna berupaya menciptakan karya yang baik (al-a'mal as-shalihah), yaitu karya-karya yang membawa kebajikan dan kemaslahatan, yang tidak hanya baik bagi pelakunya tapi juga membawa manfaat bagi semua makhluk.
Manusia paripurna melahirkan kesalehan individual maupun sosial. Seorang insan paripurna mampu memadukan kualitas hubungan vertikalnya dengan Sang Pencipta (habl min Allah) dan hubungan horizontalnya dengan sesama manusia (hablun minan nas) dengan seimbang. Allah berfirman sebagai berikut:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوٓا۟ إِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ ٱلنَّاسِ وَبَآءُو بِغَضَبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْمَسْكَنَةُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ يَكْفُرُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقْتُلُونَ ٱلْأَنۢبِيَآءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas (Ali Imran/3: 112).
Shobahussurur menjelaskan, insan paripurna adalah pribadi bertakwa yang dicintai Allah. Alquran menggambarkan kepribadian bertakwa ini dengan tiga kompetensi utama, yaitu kedalaman keimanan kepada Allah SWT dan hari akhir, ketinggian peribadatan kepada-Nya, dan keluasan infak untuk membantu sesama manusia.
Semakin banyak insan paripurna, maka semakin menguatlah sumber daya manusia suatu bangsa. "Insya Allah semakin berkembanglah bangsa tersebut,” ujar dia.