Sabtu 31 Dec 2022 10:40 WIB

Pemuka Agama Diajak Berperan Aktif Soroti Isu Lingkungan

Membangun kesadaran umat harus dimulai dari kesadaran pemuka agama.

Para pemuka agam diajak beperan aktif menyoroti isu lingkungan. (ilustrasi)
Foto: Republika/Alkhaledi Kurnialam
Para pemuka agam diajak beperan aktif menyoroti isu lingkungan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masalah krisis lingkungan hidup menjadi salah satu perhatian pemuka agama secara global. Salah satunya dalam forum agama G20 "Religion 20" (R20) yang diinisasi NU bersama Liga Muslim Dunia atau Muslim World League (MWL).

Forum yang mempertemukan para pemuka agama, sekte, dan tradisi dunia di Nusa Dua, Bali, pada 2-3 November 2022 itu menghasilkan "Komunike R20 Bali 2022”. Salah satu isinya adalah para pemuka agama dari anggota G20 dan negara lain seluruh dunia sangat menyadari tantangan global seperti kerusakan lingkungan dan bencana alam.

Baca Juga

Lembaga Peradaban Luhur (LPL) bersama Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Provinsi DKI Jakarta mengadakan seminar catatan akhir tahun 2022 tentang isu lingkungan hidup, civil society, dan keberagamaan yang diselenggarakan pada Rabu (29/12/2022). Hadir dalam kegiatan tersebut di antaranya M Islah (Eknas Walhi), Subhan Anshori (LPL),  dan Jamal F Hasyim (Koordinasi Dakwah Islam/ Kodi Provinsi DKI Jakarta). Dari catatan tersebut diharapkan agar kesadaran para pemuka agama dapat ditindaklanjuti di tahun 2023 dengan kerja-kerja nyata. 

Kepala Lembaga Peradaban Luhur Rakhmad Zailani Kiki mengatakan, kerja-kerja nyata ini harus dapat membangun kesadaran umatnya masing-masing untuk bersama pemuka agama melakukan upaya preventif dan kuratif. Utamanya, dalam penanganan krisis lingkungan hidup dan bencana ekologis sebatas yang mampu dilakukan. 

Dia menyebut, kerusakan lingkungan hidup secara global telah sangat nyata seperti pemanasan global dengan naiknya suhu bumi hingga 1,02 derajat Celsius pada 2016 dan 2020. Penyebabnya yakni polusi udara dari bahan bakar bensin;  efek rumah kaca; penggunaan CFC yang berlebihan; penggundulan hutan; serta polusi metana dari peternakan, pertanian, dan perkebunan. Hal inilah yang memunculkan cuaca ekstrem dan bencana ekologis di berbagai belahan dunia seperti naiknya permukaan air laut, serta hujan badai dengan curah hujan tinggi yang mengakibatkan bencana banjir dan longsor.

Rakhmad mengatakan, membangun kesadaran umat harus dimulai dari kesadaran pemuka agama. Peran pemuka agama dinilai sangat penting. Berdasarkan hasil survei Literasi Digital Indonesia pada 2020, pemuka agama masih menjadi sumber informasi yang paling dipercaya yaitu sebesar 61,7 persen. “Ini tentu menjadi kekuatan besar dan dapat membuat perubahan dalam mengatasi persoalan lingkungan hidup dan bencana ekologis, jika pemuka agama juga konsen dalam masalah lingkungan hidup,” ujarnya.

Dan dalam konteks dakwah Islam, yang dibangun terlebih dahulu adalah kesadaran dari para dai. Pengertian dai ini juga mencakup daiyah (pendakwah perempuan), tentang krisis lingkungan hidup dan bencana ekologis dengan pemahaman-pemahaman yang komprehensif; baik pemahaman teologis maupun ekologis. 

“Sebagai contoh, para dai perlu memiliki pemahaman tentang dua kiamat untuk disampaikan kepada umat, yang saya istilahkan dengan kiamat teologis dan kiamat ekologis,” ujar Rakhmad.

Kiamat teologis adalah kiamat yang  memusnahkan umat manusia, bumi, dan seluruh alam raya yang  pasti akan terjadi. Kiamat teologis ini menjadi hak mutlak Allah SWT untuk melakukannya dan hanya Allah SWT yang tahu kapan terjadinya. Sementara itu, kiamat ekologis adalah kiamat yang memusnahkan manusia, namun tidak memusnahkan bumi dan alam raya. Untuk kiamat ekologis ini, manusia sudah mengetahui penyebabnya, dapat memperkirakan kapan terjadinya, dan manusia pun dapat mencegahnya. 

Rakhmad mengatakan, dari dua jenis kiamat tersebut justru yang paling mengerikan bagi umat manusia adalah kiamat ekologis. Kiamat ekologis sudah mulai terjadi secara lokal dan memberikan penderitaan yang panjang terlebih dahulu sebelum kiamat ekologis secara global terjadi dengan kematian massal yang memusnahkan seluruh umat manusia. 

Menurut dia, penderitaan panjang ini bisa dialami  dalam satu generasi saja atau berapa generasi ke depan.  Berbeda dengan kiamat teologis yang kehancuran dan kematian terjadi secara serentak dalam satu waktu di seluruh alam raya tanpa memberikan penderitaan yang panjang dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Rakhmad menyebut, para dai harus menjadi contoh dalam menjaga lingkungan. Hal itu bisa dilakukan dengan membuang sampah di tempatnya, tidak membuang sampah ke saluran air yang dapat mengakibatkan banjir; mengurangi penggunakan CFC yaitu bahan kimia yang diproduksi untuk berbagai peralatan rumah tangga seperti AC atau pendingin dan kulkas untuk mengurangi efek rumah kaca; dan mengurangi penggunaan transportasi pribadi dengan beralih ke transportasi publik.

Selain itu, para dai juga secara intens menyampaikan materi tentang lingkungan hidup secara komprehensif di khotbah Jumat dan/atau di ceramah-ceramah mereka. “Jika semua ini dilakukan oleh para dai dan  juga jamaahnya, sedikit banyak memberikan dampak untuk kebaikan lingkungan hidup dan juga untuk kebaikan manusia itu sendiri di generasi sekarang dan di masa depan  yang dapat mencegah terjadinya kiamat ekologis,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement