Kamis 01 Dec 2022 15:10 WIB

Menangkal Bahaya Politik Identitas dengan Penguatan Edukasi Politik  

Polarisasi di Indonesia disebut semakin menguat.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Politik identitas (Ilustrasi)
Foto: onditmagazine.medium.com
Politik identitas (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG—Economist Intelligence Unit (EIU) merilis laporan indeks demokrasi negara-negara di seluruh dunia, termasuk indonesia. Dalam riset yang dilakukan pada 2021 itu menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-52 dengan skor 6,71. Berdasarkan hasil tersebut, maka Indonesia termasuk sebagai negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy).

 

Baca Juga

Menurut EIU, negara dengan demokrasi cacat pada umumnya telah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, namun masih memiliki masalah fundamental seperti budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang rendah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal. Salah satu cara untuk mengurangi kecacatan demokrasi, perlu adanya penguatan narasi dan edukasi politik, termasuk di ranah akademik.

 

Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nurhayati mengungkapkan temuannya, dilakukan pada Pemilu 2019, bahwa polarisasi semakin menguat di Indonesia dibarengi dengan menjamurnya isu hoax dan kampanye negatif di sosial media. Dia mengungkapkan, menguatnya polarisasi dan eksklusivitas di masyarakat, disebabkan rendahnya literasi dan narasi politik yang dilakukan para elit politik.

 

“Partai politik biasanya hanya hadir saat menjelang kampanye sehingga proses edukasi sangat lemah,” kata dia saat mengisi Seminar bertema 2024 is Calling: Peran Politik Identitas dalam Pencaturan Demokrasi Indonesia yang digelar di Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran Jatinangor, Kamis (1/12/2022).

 

 Polarisasi, kata dia, merupakan buah dari benih politik identitas yang disemai para elit politik demi mengumpulkan massa. Meskipun Indonesia telah memasuki era transparansi dan keterbukaan informasi, namun nyatanya masih ada kekosongan narasi di masyarakat, kata dia.

 

“Media sosial menjadi ajang atau laga yang sangat sengit bagi tokoh-tokoh politik dan sangat mungkin terjadinya eksploitasi politik identitas di kanal digital,” jelasnya.

 

Pendiri Netgrit (Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas) Ferry Kurnia Rizkiyansyah juga menyoroti terjadinya pergeseran pembentukan opini publik dan politik identitas setelah eksisnya sosial media. Berbeda dengan cara-cara lama yang mengandalkan kelompok penekan, kini pembentukan pola pikir dan persepsi sudah bisa dilakukan dengan mengandalkan tagar di sosial media.

 

“Maka politik identitas bisa menjadi fenomena global yang tentunya perlu dicermati secara riil apa saja aktivitas yang terjadi dalam politik identitas,” tuturnya.

 

Ferry menganggap, kemudahan ini kerap dieksploitasi oleh para pemegang kepentingan, yang pada akhirnya hanya akan menjadikan publik sebagai kuda tumpangan untuk mencapai tujuan pribadi mereka. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya minat publik untuk terjun ke ranah politik dan berkontribusi aktif disana.

 

“86 persen masyarakat tidak ingin berpartai padahal jika kita ingin mendesain kelembagaan pemerintah dan politik yang ideal dan imbang maka kita harus terjun langsung ke dalamnya,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Perindo Budang Pemilu itu.

 

Dia juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terjebak dengan simbolisme yang dimainkan para aktor politik. Menurutnya artibut identitas tersebut dapat menjadi bola api yang akan menghanguskan asas-asas keadilan dan kesetaraan di masyarakat.

 

“Jangan terjebak dengan hal berbau identitas, sebab narasi politik yang benar bukan narasi kebencian atau membentuk polarisasi,” tegasnya.

 

Hal serupa juga diungkapkan Pakar Komunikasi Politik Emrus yang menegaskan adanya perbedaan perilaku para elit politik di depan dan belakang layar. Menurutnya, banyak masyarakat yang masih tertipu dengan lakon peran yang dimainkan para aktor politik, yang sejatinya telah dirancang dan dibingkai sedemikian rupa demi membelah opini publik.

 

“Ekploitasi dan manipulasi identitas simbolik ini juga sering dijadikan metode dan siasat para aktir poliitk untuk mendulang suara demi mencapai tujuan pribadi mereka,” terangnya.

 

Eksklusivitas, sambung dia, juga menjadi senjata paling ampuh bagi para pemegang kebijakan untuk menjalankan strategi politik identitasnya. Melalui siasat ini, mereka akan mengagungkan satu kelompok dan merendahkan kelompok yang lain, yang ujungnya akan bermuara pada perpecahan di masyarakat.

 

“Karna sejatinya politik identitas adalah kesepakatan untuk tidak sepakat,” pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement