Namun selama bertahun-tahun, banyak komunitas Muslim Bengali yang membanggakan sejarah mereka dan mencoba mengklaim kembali istilah Miyas sebagai penanda yang berbeda dari identitas mereka. Museum Miyas di Goalpara, didirikan di sebuah ruangan kecil, menampung beberapa alat pertanian tradisional, alat tangkap yang terbuat dari bambu, dan gamusa atau pakaian tenun tradisional Assam yang semuanya, kata Ali, adalah bagian dari budaya orang Miyas.
Tetapi banyak pemimpin BJP menuduhnya mencoba menciptakan perpecahan dalam masyarakat dan mengatakan artefak tersebut mewakili identitas Assam dan bukan komunitas Muslim berbahasa Bengali. "Apakah ada komunitas bernama Miyas?" kata menteri utama Sarma bulan lalu, beberapa jam sebelum museum itu disegel.
Gagasan tentang museum semacam itu di pusat budaya terkemuka pertama kali diperdebatkan pada 2020 oleh mantan pemimpin Kongres Sherman Ali Ahmed yang sering dengan gencar mengadvokasi masyarakat, tetapi menghadapi tantangan keras dari pemerintahan Sarma.
Sebelumnya, pada 2019, beberapa penyair mengalami masalah karena menulis puisi perlawanan yang berapi-api - yang mereka sebut "puisi Miyas" dalam dialek komunitas alih-alih dalam bahasa Assam tertulis standar. Sepuluh dari mereka didakwa mempromosikan permusuhan antarkelompok atas dasar agama.
Sherman Ali Ahmed mengatakan kepada BBC bahwa menurutnya tidak tepat bagi Ali untuk membuka museum di rumah yang diberikan pemerintah, tetapi hukumannya berlebihan. "Dia tidak melakukan kejahatan besar, tapi pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap dia dan orang lain untuk menakut-nakuti masyarakat," katanya.
Ahmad, sang cendekiawan, menuduh pemerintah sedang mencoba untuk mengeksploitasi kompleksitas demografis negara bagian dan mempermainkan kecemasan orang Assam yang telah lama takut kehilangan identitas mereka karena imigran dengan mempolarisasi lingkungan.
Sementara itu, orang-orang di desa Ali masih bingung dengan penangkapan tersebut. Kebanyakan dari mereka menolak berbicara tentang museum, karena takut akan lebih banyak masalah. Orang lain mengatakan kontroversi itu tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka.
"Kami tidak butuh museum, kami butuh pekerjaan, jalan, dan listrik," kata Shaheed Ali, seorang warga.
Ahmad mengatakan meskipun menurutnya museum itu tidak efektif, masyarakat memiliki hak melestarikan budaya mereka. “Setelah bertahun-tahun dianiaya, Muslim Miyas mencoba mengukir ruang mereka sendiri. Bagaimana sebuah komunitas bisa ada tanpa budayanya," katanya.