REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Swedia terus mengambil langkah menutup lembaga-lembaga akademik Islam. Hal ini dilakukan dalam upaya mendorong retorika anti-Islam dan menghentikan privatisasi pendidikan.
Awal tahun ini, Menteri Pendidikan negara Nordik saat itu Lena Axelsson Kjellblum, mengatakan pada konferensi pers bahwa pemerintahnya telah memperkenalkan undang-undang yang bertujuan melarang pendirian sekolah agama independen.
Dilansir di Anadolu Agency, Kamis (17/11/2022), RUU itu pada dasarnya mencegah sekolah berkembang, baik dengan cara meningkatkan jumlah siswa mereka atau membuka cabang baru, mulai tahun 2024 dan seterusnya. Sejauh ini, hanya sekolah Islam yang menjadi sasaran undang-undang.
Ini memicu protes dari organisasi, peneliti dan sekolah Muslim. Mereka menyebut keputusan menutup sekolah Islam tidak didasarkan pada hasil akademis yang buruk atau kekurangan pengajaran lainnya, melainkan lebih bersifat politis, motif anti-Islam.
Kepala sekolah Muslim independen Framstegsskolan di pinggiran Ragsved di Stockholm, Mohamed Amin Kharraki, mengatakan sekitar 20 sekolah yang mengklasifikasikan diri mereka sebagai Islam atau yang dimiliki oleh Muslim ditutup. Hanya tiga yang tersisa yang mengajukan gugatan terhadap mereka.
Mei lalu, inspektorat sekolah negara itu mengumumkan penutupan Framstegsskolan. Namun, sekolah tersebut memenangkan banding dan pengadilan tata usaha negara, yang mengatakan keputusan tersebut seharusnya tidak berlaku lagi, sambil menunggu putusan.
Keputusan inspektorat untuk menutup sekolah didasarkan pada laporan oleh dinas keamanan domestik Swedia SAPO dengan klaim konspirasi tentang kelompok Ikhwanul Muslimin, agenda rahasia, sekaligus dugaan label teror yang membuat beberapa peneliti bingung.
"Jika saya tidak memiliki latar belakang penelitian yang saya miliki, saya mempelajari dan meneliti Ikhwanul Muslimin, saya akan takut pada kegelapan. Pada dasarnya saya akan takut pada semua pemimpin Muslim di Swedia," tulis outlet berita lokal Syre mengutip seorang profesor dalam sosiologi agama, Emin Poljarevic.
Kondisi ini dinilai semakin menunjukkan jika negara tersebut memiliki iklim sosial, di mana umat Islam dieksotisasi dan dicurigai. Dosen teologi dan filsafat Islam di Universitas Uppsala ini juga menyayangkan Sapo, dari semua otoritas, telah jatuh ke dalam lubang itu.
Prasekolah Saimagarden di distrik Akalla di Stockholm, juga dijalankan oleh Framstegsskolan, ditutup Agustus lalu karena klaim SAPO, yang menyebut anak-anak berisiko mengalami radikalisasi. Pengadilan, bagaimanapun, membatalkan langkah tersebut dan prasekolah tetap buka sampai putusan akhir dikeluarkan.
Kharraki menyebut SAPO tidak menyebutkan tuduhan spesifik tentang salah satu sekolah dalam laporannya, dan hanya merujuk pada sumber rahasia. Menggarisbawahi bahaya yang ditimbulkan oleh argumen inspektorat, ia mengatakan jika sebuah sekolah dituduh menempatkan anak-anak pada risiko radikalisasi, tanpa bukti nyata atau insiden masa lalu, maka sangat sulit pihak yang dituduh, untuk membela diri, karena tidak ada yang benar-benar terjadi.
Menurut Kharraki, inspektorat sekolah tidak pernah mengunjungi Framstegsskolan untuk mengamati dugaan radikalisasi dan ditolak dalam upayanya mempertanyakan laporan SAPO. Anggota dewan partai politik Nyans dan pejabat tinggi di wilayah Skane paling selatan, Sead Busuladzic, mengatakan penutupan sekolah bukan karena pendidikan, tetapi tentang iklim politik anti-Muslim.
Dia menunjukkan bagaimana partai-partai sayap kanan yang saat ini berkuasa secara eksplisit mengatakan mereka tidak menentang sekolah Kristen, Yahudi, atau lainnya.
Politikus, dalam kata-katanya, menormalkan Islamofobia dan membuat hidup yang lebih sulit bagi minoritas. Mereka menyuarakan masalah dengan sekolah-sekolah Islam, yang seharusnya bisa menghentikan radikalisasi. Dengan melakukan itu, para politikus berupaya mempengaruhi pendapat umum dan bagaimana umat Islam dipandang.
Buladzic juga menjelaskan pada awalnya Demokrat Sosial telah mendorong masalah ini, karena mereka menentang semua sekolah swasta dan berpendapat bahwa negara harus menjalankan semua lembaga pendidikan. Namun dalam praktiknya, hanya sekolah-sekolah Islam yang menanggung beban bahkan dari kebijakan Sosial Demokrat, meskipun secara umum mereka menentang pendidikan swasta.
Dalam pemilihan sebelumnya, alih-alih berfokus pada isu-isu seperti ekonomi dan pengangguran yang tinggi, politisi telah memberi sentimen anti-Muslim. Adapun penutupan sekolah adalah cerminan dari ini.
Ketika RUU itu pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah, mereka mengklaim semua sekolah agama akan terpengaruh. Namun, kenyataannya tidak demikian karena tidak ada sekolah agama lain yang ditutup kecuali sekolah Islam.