REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof.KH. Haedar Nashir meluncurkan buku berjudul Islam Syariat : Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia yang berlangsung di Aula Ahmad Dahlan Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (FKIP UHAMKA) pada Jumat (28/10/2022). Buku ini terbitan ketiga oleh penerbit Suara Muhammadiyah setelah sebelumnya diterbitkan juga oleh penerbit Mizan dan Ma'arif Institut.
Dalam buku tersebut terdapat pengantar yang ditulis oleh almarhum Prof Dr Ahamd Syafii Maarif. Selain itu terdapat juga komentar positif dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD. Dalam pidatonya Haedar Nashir mengatakan buku Islam Syariat ditulisnya dari hasil disertasinya di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 2006. Disertasi itu mengambil penelitian di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
Haedar mengatakan ditulisnya disertasi yang kemudian menjadi buku Islam Syariat berangkat dari realitas pasca reformasi. Ia mengatakan setelah reformasi banyak gerakan-gerakan keagamaan dan sosial yang tumbuh. Di era reformasi, gerakan-gerakan tersebut berkembang. Pada satu sisi terdapat gerakan untuk membangkitkan kembali komunisme. Selain itu ada juga kelompok sekuler yang terus berupaya memproduksi pemikiran agar agama tidak masuk ke ruang publik dan agar negara mengambil jarak dari agama. Hingga saat itu muncul juga kelompok anti agama.
Pada sisi lainnya muncul juga gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok Islam militan yang kaku dan keras. Gerakan tersebut bahkan memiliki cita-cita untuk membentuk negara Syariah atau negara Islam di dalam NKRI. Gerakan tersebut menyuarakan negara Khilafah dan menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
"Saya lari ke situ, mengkaji gerakan Islam yang militan. Yang ingin kembali menghadirkan Islam yang menurut mereka itu Kaffah tetapi coraknya berbeda dengan arus utama yang selama ini sudah hidup seperti Muhammadiyah, NU, Al Irsyad dan seterusnya," kata Prof Haedar.
Lebih lanjut Prof Haedar mengatakan dalam bukunya ia menggunakan istilah Islam Syariat untuk menyebut kelompok Islam yang ingin menegakan syariat Islam dengan karakter militan, keras, kaku, eksklusif dan monolitik. Bahkan Haedar menyebut pandangan kelompok tersebut melahirkan neo puritanisme yang lebih keras, kaku, monolitik dibanding puritan masa lalu.
Hingga kemudian gerakan tersebut muncul ke politik yakni menginginkan negara Islam. Haedar menyebutnya dengan istilah reproduksi salafiyah ideologis atau menginginkan kembali ke era masa salaf namun bersifat perjuangan politik. Kelompok tersebut berpandangan bahwa negara khilafah adalah sebagai format negara tunggal dan menolak atau menyalahkan format negara lainnya. Namun demikian kelompok dan gerakan militan tersebut telah ditolak berbagai negara.
"Gerakan ini ternyata di Saudi juga ditolak. Padahal Saudi negaranya Islam tapi bentuknya mamlakah, kerajaan. Kemudian di Mesir juga diusir karena berbeda dengan pandangan Mesir. Jadi jangankan di negara yang seperti Indonesia yang memilih Pancasila sebagai dasar negara yang sebenarnya sejalan dengan islam, di negara-negara itu juga dianggap sebagai gerakan yang menimbulkan masalah, bahkan ilegal," katanya.
Dalam kesimpulannya, Prof Haedar mengatakan bahwa gerakan kelompok militan yang disebut dengan istilah reproduksi Salafiyah Ideologis dalam bukunya itu memiliki banyak masalah. Selain itu menurutnya bila pola gerakan atau kelompok tersebut yang digunakan dalam Islam Indonesia atau di dunia maka justru akan terjadi penyempitan ruang Islam di berbagai negara. Selain itu kelompok tersebut juga memungkinkan banyak orang menjadi tidak nyaman dengan Islam, sehingga memilih agama lainnya sehingga muncul konversi agama.
Selain peluncuran buku Islam Syariat, dalam acara tersebut juga diresmikan Masjid KH. Hisyam UHAMKA, Klinik Pratama UHAMKA. Selain itu PP Muhammadiyah dan UHAMKA juga merilis lagu Sang Surya versi Bahasa Jepang.