REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren telah mendorong peran pesantren lebih besar sebagai bagian dari pembangunan ekosistem pendidikan nasional. Karena itu peran otonom pesantren harus didukung dengan akuntabilitas yang harus dibangun sejak awal. Termasuk hadirnya negara dan dukungan dari berbagai stakeholder terkait seperti kemenag, kemendikbud, BAN, BNSP, Bappenas untuk berkolaborasi.
Pandangan itu disampaikan KH Abdul Ghaffar Rozin Ketua Majelis Masyayikh (MM), di sela peringatan hari Santri, Sabtu (22/10/2022). Menurutnya, saat ini di pesantren banyak sekali santri yang sudah mengikuti pendidikan lanjut ala pesantren, secara substantif dia sudah setara s2. Namun, mereka kesulitan untuk mengajar karena masalah regulasi. "Kita akan menata semua sehingga mereka yang memiliki ilmu meski tidak memiliki ijasah formal tetap bisa mengajar," katanya.
Pihaknya juga akan membuat standar minimal seorang pendidik agar dapat mengajar di pesantren. Ke depan semua lulusan pesantren akan setara dan diakui Diknas. "Kuncinya ada di SDM, kalau mereka yang sudah qualified, harus ada penghargaan yang layak secara finansial yang harus mereka terima," kata ulama yang akrab disapa Gus Rozin ini.
Menurutnya, pendidikan pesantren memiliki akar sangat kuat dalam tradisi dan budaya masyarakat Islam Indonesia jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir. Meskipun demikian, peran, pengembangan dan kelembagaan pesantren terus berdampingan sejak zaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia hingga era modern saat ini.
Pondok Pesantren bukan sekedar Lembaga Pendidikan, karena pondok pesantren juga memiliki fungsi dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Peran pesantren baik secara institusi serta individunya (para pengasuh/kiyai dan alumninya) tak dapat dipungkiri mempengaruhi sendi-sendi sosial, politik, ekonomi, budaya dan hal utamanya yakni pendidikan. Lahirnya undang-undang Pesantren haruslah berfungsi menjaga tradisi keilmuan pesantren yang khas dan unik. Kehadiran Majelis Masyayikh sebagai instrumen penting guna mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren.
Saat ini, berdasarkan data Kementerian Agama RI, jumlah pondok pesantren lebih dari 36 ribu, dengan santri lebih dari 4 juta. Masing-masing pesantren mempunyai sistem dan satu sama lain mempunyai kekhasan yang berbeda-beda. Maka, penjaminan mutu yang dimaksud tidak melakukan penyeragaman terhadap keseluruhan pesantren. Salah satu karakteristik penting Pendidikan pesantren adalah kemandiriannya, mulai dari tata Kelola, kurikulum, sistem.
Pesantren menyelenggarakan Pendidikan formal (Pendidikan Diniyah Formal (PDF), Ula, Wustho, Ulya, Pendidikan Muadalah Ula, Wustho, Ulya dan Ma'had Aly) dan/atau Pendidikan non-formal yakni pengkajian kitab kuning. Empat satuan Pendidikan tersebut yang menjadi kewenangan Majelis Masyayikh.
Dibentuknya Majelis Masyayikh ditujukan untuk merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren. Sistem penjaminan mutu ini berfungsi untuk 1) melindungi kemandirian dan kekhasan Pesantren; 2) Melindungi kemandirian dan kekhasan Pesantren; 3) Memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren. Tujuannya adalah: 1) Memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren, 2) Memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren. 3) Memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren.
Dengan merujuk pada tujuan dan fungsi tersebut, Majelis Masyayikh memiliki enam tugas yang ditetapkan oleh UU. 1) Menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren. 2) Memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren. 3) Memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren. 4) Merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan. 5) Melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu. 6) Melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu.
Saat ini, Majelis Masyayikh sedang menyusun rencana induk yang bersifat jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek yang diterjemahkan dari tupoksi Majelis Masyayikh. Untuk mengakselerasi pelaksanaan UU Pesantren di setiap pesantren, Majelis Masyayikh juga sedang dan akan melakukan sosialisasi UU pesantren di 14 provinsi: Sulawesi Selatan, Aceh, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Banten, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Yogyakarta, Sumatera Utara