Oleh karena itu, Atip menilai pengaturan pernikahan yang berbasis norma agama di Indonesia bukan bentuk pelanggaran HAM, melainkan justru dalam rangka melaksanakan dan melindungi HAM. Dia menegaskan pelaksanaan pernikahan harus tunduk pada perundang-undangan nasional masing-masing negara.
"Pada hakikatnya, ketentuan HAM bukan supra-agama yang mensubordinasikan ajaran agama, melainkan hadir untuk memperkuat pelaksanaan ajaran agama. Sebab, tidak ada ajaran agama yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan termasuk dalam pengaturan mengenai perkawinan," tegas Atip.
Diketahui, permohonan Nomor 24/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perkawinan ini diajukan E Ramos Petege. Ramos merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi UU Perkawinan. Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan.
Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas. Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan.
Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.