REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iwan KC Setiawan, Dosen UNISA Yogyakara, Sekretaris KOKAM Nasional dan Anggota ICMI DIY
Perawakannya kurus, badannya tidak terlalu tinggi, tetapi sorot matanya tajam seperti menatap masa depan. Beliau seorang ulama sholeh dengan spesialis ilmu tasawuf. Kiai Muhtar Bukhori adalah sapu kawat Muhammadiyah Surakarta.
Kiai Muhtar Bukhori (Moechtar Boechari ejaan lama) menjadi ketua SATV (Sidiq Amanat Tableg Vathonah), cikal Bakal Muhammadiyah Surakarta di usia 21 tahun. Padahal masih banyak yang lebih tua dari Muhtar Bukhori.
Sebut saja Harsolumakso, seorang pedagang dan sekretaris SATV. Juga ada Sontohartono, seorang pedagang dan bendahara SATV. Tetapi semua anggota SATV memilih beliau menjadi ketua.
Setelah Haji Misbah mengundurkan dari ketua SATV di tahun 1920, anggotanya mencari pengganti Haji Misbah. Para pimpinan SATV yang jauh lebih tua, memilih Kiai Muhtar Bukhori. Pilihan mereka ternyata tepat.
Kiai Muhtar Bukhori memiliki penguasaan agama yang luas, kemampuan tabligh yang mumpuni, keterampilan menulis dan jiwa kepemimpinan yang kuat. Yang paling penting juga Kiai Muhtar Bukhori secara total berhikmat di SATV sebagai ketua tabligh saat itu.
Kiprah Kiai Muhtar Bukhori
Mengutip dari Mohamad Ali dan Syaiful Arifin dalam Matahari Terbit di Kota Bengawan (2015), Kiai Muhtar Bukhori lahir 1899 di Kampung Kauman, Kasunanan. Pendidikannya diselesaikan di Sekolah Ongko Loro (Hollads Indische Scolen) dan sore harinya belajar di Mambaul Ulum, sekolah agama yang letaknya di Kompleks Masjid Agung Surakarta.
Rumah Muhtar Bukhori tidak jauh dari Masjid Agung Surakarta. Beliau juga memperdalam Islam di Madrasah Arabiyah Islamiyah di Pasar Kliwon.
Beliau juga nyantri di Pondok Pesantren Termas, Pacitan. Saat masih nyantri di Termas, dengan anjuran kiainya, Muhtar Bukhori mengikuti tabligh yang diadakan SATV. Ternyata Kiai Muhtar Bukhori tertarik dengan pengajian yang diadakan SATV.
Apalagi saat tabligh yang mengisi langsung Kiai Dahlan. Muhtar Bukhori merasa cocok dengan pikiran sang pendiri Muhammadiyah ini.
Kiai Muhtar Bukhori juga seorang jurnalis handal. Beliau menjadi redaktur dan penulis lepas di Islam Bergerak, Medan Muslimin, Bintang Islam, Cahaya Islam, dan Sinar Islam. Selain itu buku-buku yang ditulisnya, baik dalam huruf jawa dan latin banyak beredar di Surakarta. Karya beliau antara lain Gesang Kula Kaping Kalih, Tasawuf Tjekakan, Ngadab Tjekakan, Piwoelang Islam, Pitoetoer Islam, Katrangan Njekapi Dateng Agami Kristen, Islam lan Theosofi, Al-Manar, dan Hoedjatul Balighah.
Meminjam istilah sekarang, Kiai Muhtar Bukhori adalah seorang cendekiawan Muslim. Beliau seorang ulama dengan keluasan kitab kuning dan kitab putih, karena menguasai Bahasa arab, Belanda, dan Inggris. Sehingga tema seperti teosofi, Agama Kristen dan tema-tema diluar agama Islam dikuasai oleh Muhtar Bukhori dan ditulis dalam buku-bukunya.
Kiai Muhtar Bukhori memimpin Muhammadiyah Surakarta dengan pendekatan kultural. Hal ini yang membedakan dengan sosok Haji Misbah yang ingin membawa SATV/Muhammadiyah ke kancah politik. Kiai Muhtar Bukhori meletakkan pondasi Gerakan Muhammadiyah dalam usaha sosial dan mendidik umat dengan menjadi mubaligh, jurnalis dan memperluas jaringan silaturahmi dengan banyak tokoh agama di Surakarta. Gerakan Muhammadiyah Surakarta di bawah Kiai Muhtar Bukhori sangat mencocoki dengan pikiran dan Gerakan Kiai Dahlan di Yogyakarta.
Usia Kiai Muhtar Bukhori tidak panjang, meninggal di usia 27 tahun. Beliau memimpin SATV/Muhammadiyah Surakarta periode 1920-1926 dan meninggal di tahun 1926. Salah satu warisan beliau adalah peletak dasar persyarikatan Muhammadiyah Surakarta dan buku-buku yang dibaca hingga puluhan tahun kemudian. Di masa sekarang mengumpulkan dan mempelajari Kembali karya-karya Kiai Muhtar Bukhori penting dilakukan.