REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, AH Azharuddin Lathif menyampaikan, pesantren saat ini sudah luar biasa dalam mengembangkan berbagai aspek ekonomi syariah yang bisa digali potensinya. Bahkan tak sedikit pesantren yang mendirikan lembaga keuangan syariah seperti koperasi syariah dan Baitul Maal wat Tamwiil (BMT).
"Banyak pesantren yang melakukan optimalisasi bisnis yang berbasis kebutuhan santri. Ada yang langsung ditangani oleh pesantren, yayasan, koperasi santri, maupun koperasi sivitas pesantren, sehingga banyak yang punya minimarket. Jadi dari sisi aksi nyata sudah luar biasa," tutur dia kepada Republika.co.id, Kamis (15/9/2022).
Menurut Azharuddin, rata-rata pesantren besar saat ini sudah terafiliasi dengan ekosistem ekonomi syariah. Misalnya, beberapa pesantren telah bekerja sama dengan perbankan syariah sehingga saat hendak membayar SPP, itu ditransfer ke bank syariah. Bahkan sebagian pesantren juga menyediakan perlindungan asuransi syariah.
"Ketika mengajukan pembiayaan untuk pembangunan gedung dan lainnya, pesantren juga bersinergi dengan lembaga keuangan syariah. Maka seperti yang telah saya sampaikan, dari sisi aksi nyata sudah luar biasa," kata Dosen Hukum Ekonomi Syariah UIN Jakarta ini.
Pesantren, lanjut Azharuddin, juga banyak yang melakukan kajian ekonomi syariah. Contohnya seperti pesantren-pesantren besar di Jawa Timur, seperti Sidogiri dan Tebuireng, yang melakukan kajian fiqih muamalah untuk konteks kepentingan bahtsul masail dan hal lainnya.
"Perkembangannya cukup signifikan. Tidak hanya pesantren NU maupun Muhammadiyah, pesantren yang tidak terafiliasi dengan ormas Islam pun sudah luar biasa gerakan-gerakan mereka untuk membangun ekonomi umat terutama yang berbasis syariah," jelasnya.
Namun, Azharuddin juga tidak memungkiri, ada tantangan yang dihadapi untuk memajukan ekonomi umat dari pesantren. Menurutnya, saat ini masih ada pesantren yang belum menerima secara utuh tentang pentingnya ekonomi berbasis syariah. Sebab, ada juga pesantren yang menganggap ekonomi syariah hanya sebagai pilihan.
Dalam anggapan tersebut, yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan maqashid syariah seperti pengentasan kemiskinan dan pemeliharaan serta pengembangan harta, meski transaksinya mengandung unsur riba. "Terkadang ada pesantren yang kiainya masih agak minor melihat labelisasi ekonomi syariah. Ini yang menurut saya menjadi tantangan," paparnya.
Di satu sisi, Azharuddin mengakui, ada pesantren yang luar biasa mendukung pengembangan ekonomi umat berbasis syariah. Tetapi di sisi lain, masih ada yang tidak mau menggunakan label syariah. Karena itu, dia menekankan, dibutuhkan proses literasi, edukasi dan dialog baik di tataran kiai maupun ormas-ormas yang menaungi pesantren.
"Namun juga ada ormas yang sudah tegas bahwa seluruh kegiatan operasional lembaga-lembaga di bawahnya terafiliasi dengan lembaga keuangan syariah, tetapi ada juga yang menganggap lembaga keuangan syariah sebagai opsi saja. Maka yang dibutuhkan sekarang adalah dialog, edukasi, dan literasi di kalangan mereka. Ini harus lebih diintensifkan," tuturnya.
Azharuddin juga mengusulkan agar dibuat standarisasi manajemen wirausaha di pesantren. Standarisasi ini diperlukan supaya unit-unit usaha yang dibangun oleh pesantren menjadi semakin berkembang dan maju secara terukur. "Ini penting, walaupun memang sudah ada pesantren yang hebat-hebat dalam hal wirausaha," kata dia.