Ahad 04 Sep 2022 09:56 WIB

Kuasa dan Istidraj: Nikmat dalam Kesesatan adalah Perangkap

Kekuasaan sering dakali bisa menjadi perangkap kesesatan.

Seseorang berdoa di padang Arafah sewaktu haji. (ilustrasi).
Foto:

Istidraj Mengintai Para Jenderal 

Dalam sejarah peradaban dunia, Istidraj dicontohkan dengan sempurna oleh Fir’aun dan Qarun. Istidraj Fir’aun melalui kekuasaannya, Qarun melalui kekayaannya. Setelah dibiarkan hidup melampaui batas dengan gelimang kuasa dan harta, Allah lalu menenggelamkan Fir’aun dengan keji di laut merah, dan menghempaskan Qarun kedalam Bumi dengan semua kekayaan yang dibanggakannya. 

Dari reformasi 1998, kita juga melihat istidraj Allah. Betapa pemimpin tertinggi Indonesia yang juga seorang jendral (bahkan jendral besar karena dibahunya tersemat lima bintang) dan yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun, akhirnya berakhir tragis. Dahulu, ketika dipuncak kekuasaan, semua sendi kehidupan ia kendalikan. Demokrasi dan nomokrasi diberangus. Pelanggaran HAM menjadi pemandangan biasa. Kemurkaan Allah lalu datang. Perlahan tapi pasti, kekuasaannya kian ringkih, sampai pada Mei 1998, jendral ini terjungkal dengan sangat menyakitkan. 

Dalam konteks kekinian, kita melihat istidraj yang menimpa beberapa jenderal. Kita masih ingat kasus korupsi dalam kasus proyek pengadaan simulator alat uji surat izin mengemudi senilai Rp 196 miliar. Sebagai pejabat tinggi di kepolisian, dengan kekuasaannya, ia mungkin mengira tak akan tersentuh oleh hukum, termasuk oleh KPK. Faktanya, si jendral itu dicokok oleh KPK, lalu divonis oleh Mahkamah Agung 18 tahun penjara.   

Kita juga ingat terbongkarnya kasus penerbitan surat jalan kepada buronan kelas kakap, yakni Djoko Tjandra sehingga membuatnya bisa keluar masuk Indonesia. Kasus ini berakibat dicopotnya tiga jenderal yang terlibat.

Teranyar, Istidraj terlihat dalam kasus pembunuhan Brigadir Jhosua yang diduga melibatkan seorang jendral. Mulanya dibuat skenario tembak menembak dan pelecehan seksual terhadap istrinya. Skenario ini awalnya terlihat berjalan mulus, dikawal dengan instrumen kuasanya dan kekuatan dana. Namun fakta sesungguhnya mulai terkuak. Justru si jendal yang diduga menjadi otak pembunuhan tersebut. Sebagai “polisi nya polisi”,  jendral ini mungkin meyakini ia sudah masuk zona ‘bebas gravitasi’ alias kebal hukum. Membunuhpun ia tak segan. Murka Allah lalu datang membalikkan situasi. Dari penguasa menjadi pesakitan.

Deretan fakta diatas, harusnya membuat kita sadar, bahwa kekuasaan sejatinya adalah milik Allah. Semakin kita merasa berkuasa, semakin kita masuk dalam perangkap istidraj. Sebagaimana diajarkan oleh manusia paling mulia di muka bumi, Nabiyullah Muhammad SAW, melalui hadis yang diriwayatkan Uqbah bin Amir: 

“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari [perkara] dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka [ketahuilah] bahwa hal itu adalah istidraj [jebakan berupa nikmat yang disegerakan] dari Allah,” (H.R. Ahmad).

Semoga hidayah Allah menyertai kita semua. Menjalani kehidupan dengan hati selalu tertaut pada cahaya keimanan dan ketaqwaan. Amanah dalam mengemban setiap jabatan, serta dijauhkan dari istidraj Allah SWT. Aamin Ya Mujibas Sa’ilin. 

 

 

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement