Kamis 25 Aug 2022 19:41 WIB

Kunci Persatuan dan Perdamaian Bangsa Indonesia adalah Umat Islam 

Silaturahim antarumat Islam sangat diperlukan untuk hadapi tuntutan zaman

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Umat Islam (Ilustrasi).  Silaturahim antarumat Islam sangat diperlukan untuk hadapi tuntutan zaman
Foto:

Menteri Agama RI periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin, mengukuhkan pendapat Wamenag mengenai pentingnya menghindari gesekan dalam kehidupan yang majemuk. 

“Kita menghadapi dua kutub dalam keberagamaan kita, secara sederhana terdapat kutub yang mengedepankan simbol dalam beragama. Kemudian terdapat kutub lain, yang mengedepankan esensi, tidak peduli dengan simbol,” tegasnya.  

Di sinilah hadir konsep moderasi beragama, yang menarik dua kutub tersebut agar mengedepankan nilai-nilai universal agama untuk kemaslahatan umat. 

“Sementara masalah-masalah perbedaan atau furuiyah, hanya diperbicangkan di dalam kelompok saja. Dengan masalah perbedaan semua pihak harus lebih toleran,” ujarnya.  

Sikap yang toleran tersebut, diyakini Romo Franz Magnis Suseno SJ, Guru Besar Emiritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sebagai penyelamat bangsa Indonesia. “Bangsa ini setidaknya tiga kali terancam perpecahan, namun persatuan selalu menyelamatkan Indonesia,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam webinar kebangsaan tersebut.  

Sumpah Pemuda melahirkan bangsa Indonesia di tengah kolonialisme pada 1928. Lalu Pancasila yang dirumuskan sesaat sebelum merdeka, terbukti menjadi perekat. 

“Ketiga saya sebagai saksi mata, kala reformasi semua orang mengira Indonesia akan bubar seperti Uni Sovyet, tapi Indonesia bisa keluar dari krisis dalam persatuan dan perdamaian yang mantap,” ujar Romo Magnis.  

Kunci keberhasilan Indonesia melewati krisis, menurutnya adalah kesediaan mayoritas untuk tidak menuntut kedudukan istimewa dalam UUD 1945. “Umat Islam tidak menuntut keistimewaan. Itulah dasar persatuan,” imbuhnya. Meskipun demikian, dia berpendapat kelompok minoritas harus menghormati nilai-nilai budaya kelompok mayoritas, “Di sinilah pentingnya tenggang rasa,” ungkapnya.  

Bangsa Indonesia menurutnya punya modal rohani, dalam dimensi budaya, politik kebangsaan dan agama. Dalam dimensi budaya, Indonesia bila dibandingkan Jerman sangat jauh berbeda. 

Bangsa Jerman tidak biasa beda bahasa, sementara Indonesia majemuk. “Jadi orang Indonesia terbiasa berbeda agama dan bahasa, namun bisa hidup saling menghormati. Dalam budaya Indonesia kekerasan itu selalu ditolak. Indonesia itu toleran dan positif,” tutur Romo Magnis. 

Senada dengan Romo Magnis, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Singgih Tri Sulistiyono yang juga Ketua DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia, menuturkan Pancasila merupakan pemersatu bangsa. 

“Inilah yang membuat Lemkari cikal bakal LDII, sejak berdiri pada 1972 menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi,” imbuh Singgih.

Baca juga: Dulu Pembenci Adzan dan Alquran, Mualaf Andreanes Kini Berbalik Jadi Pembela Keduanya

Menurutnya, untuk menjahit keberagaman Lembaga Dakwah Islam Indonesia mengembangkan silaturahim atau dialog. 

Bahkan delapan Program Kerja Lembaga Dakwah Islam Indonesia untuk Bangsa” yang terdiri dari Wawasan Kebangsaan, Dakwah, Pendidikan Umum, Ketahanan Pangan, Penghijauan dan Pelestarian Lingkungan, Kesehatan dan Pengobatan Herbal, Ekonomi Syariah, Teknologi 4.0, dan Energi Baru Terbarukan, tidak berhenti sebagai program kerja, tapi menjadi wahana untuk bersilaturahim dengan pemerintah, ormas, parpol, dan para pemangku asas lainnya. 

 

Silaturahim menjadi ruh Lembaga Dakwah Islam Indonesia dalam moderasi beragama. “Fondasinya ayat yang menegaskan kita diciptakan memang berbeda, namun untuk saling mengenal sehingga bisa saling membantu,” ujar Singgih.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement