REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak orang larut dalam rutinitas kerja harian.Mereka asyik mengerjakan tugas yang diperintahkan atasan, tanpa mengetahui dasar agama tentang cara bekerja.
Padahal, itu adalah hal mendasar agar kerja dilakukan sesuai dengan tuntunan Islam.Seperti apakah Islam meman dang pekerjaan? Wartawan Republika Andrian Saputra mewawancarai Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ahmad Zubaidiuntuk menjawab permasalahan tersebut pada Rabu (29/6).
Berikut petikannya:
Seperti apa etika bekerja dan cara mengamalkannya sesuai tuntunan Islam?
Islam memerintahkan supaya umat Islam dalam berbuat apa pun termasuk bekerja harus karena Allah SWT. Jadi, tidak sekadar karena target yang ditetapkan pimpinan, tapi be kerja karena Allah SWT.
Kalau bekerja karena Allah, itu yang semula ha nya konteksnya hubungan dengan ma nusia, tapi diniati karena Allah menjadi bernilai ibadah. Jadi, seorang Muslim ketika bekerja di mana pun, kalau Lillahi Ta'ala insya Allah men da patkan nilai dunia dan akhirat. Ada `hasil keringat' dan ridha Allah yang didapat.
Karena itu, dalam mengamalkan etika bekerja dalam Islam ini tentu kita menerapkan dalam kehidupan sehari- hari. Misalnya, etika menghargai pimpinan, kemudian etika sopan dan menghargai teman sekerjanya, bekerja dengan ikhlas, bekerja dengan cerdas dan bekerja dengan penuh kesabaran.
Apa pun kesulitan yang kita hadapi dalam pekerjaan itu kita harus bersabar. Insya Allah kesulitan apa pun kalau kita sabar akan ada jalan ke luarnya. Bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan. Karena itu, seorang Muslim bekerja dengan menerapkan nilai-nilai itu.
Bagaimana cara menjaga akhlak dalam bekerja?
Kita menghargai pimpinan. Harus berhubungan baik dengan rekan kerja, mengedepankan sopan santun, kemudian sabar, ikhlas karena Allah dan dalam bekerja itu harus qa naah, yaitu menerima dan merasa cu kup. Karena kalau kita tidak qonaah, gaji sebesar apa pun akan tidak cukup, terasa kurang terus.
Ketika kita merasa kurang dengan gaji kita, itu akan memengaruhi profesionalitas pekerjaan kita. Jadi, kita pun harus profesional. Apa yang menjadi tugas kita harus profesional.Supaya dengan profesional itu berarti kita mempertanggungjawabkan pekerjaan kita di hadapan pimpinan kita dan di hadapan Allah SWT.
Kita juga harus menganggap bahwa pekerjaan itu amanah. Orang Islam itu ketika diberi amanah harus menunaikannya. Kita diberikan amanah suatu pekerjaan lalu kita komitmen melakukan pekerjaan itu ya kita harus mengerjakan dengan sebaik-baik nya.Tidak boleh kita tidak komitmen.
Ada contoh lain?
Umpamanya kita sudah teken kontrak siap dengan pekerjaan itu lalu setiap menyelesaikan tugas ngomel-ngomel, merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya, ya tidak boleh.
Kalaupun ada tuntutan kepada pimpinan, perusahaan, sampaikan dengan cara yang baik. Jangan dengan cara yang maki-maki, apalagi anarkis tis. Itu tidak diperkenankan. Kalau kita bekerja dengan baik, amanah, dan disertai akhlak mulia, akan nyaman di manapun dia be kerja.
Akan asyik senang bahagia. Tapi, kalau hati kita tidak qonaah, selalu ngedumel, selalu tidak nyaman dengan pekerjaannya, merasa selalu ter tekan dengan pekerjaannya yang di bebankan oleh atasan, kita tidak akan pernah nyaman dalam bekerja di manapun.
Bagaimana agar bekerja menjadi maksimal tanpa menzalimi pihak lainnya?
Dalam hubungan pekerjaan itu yang jelas kantak boleh saling menzalimi. Atasan tidak boleh menzalimi bawahan. Demikian juga bawahan tidak boleh menzalimi atasan. Kezalim an atasan kepada bawahan seperti diberikan beban melebihi kontrak yang telah diberikan atau kemudian gajinya ditunda-tunda, tidak ditunaikan sesuai perjanjian itu jelas menzalimi, jam kerja juga tidak sesuai dengan perjanjian itu juga menzalimi.
Demikian juga seorang bawahan bisa menzalimi atasannya manakala dia bekerja tidak jujur, korupsi waktu atau kerja ngga maksimal, kerja tidak profesional itu menzalimi pimpinannya yang telah memberikan tugas untuk bekerja secara profesional. Karena itu, dengan kita bekerja dengan sebaik baiknya itu, kita telah mempersembahkan yang terbaik di hadap an pimpinan kita dan Allah SWT.
Seperti apa kedudukan orang yang bekerja dan menafkahi keluarganya dengan harta yang halal?
Ketika kerja dilaksanakan de ngan ikhlas karena Allah, kita be ker ja untuk keluarga, untuk orang tua, maka itu fisabilillah, itu seperti orang yang sedang berperang di jalan Allah. Jadi, orang yang bekerja ikhas, dilakukan se cara profesional, dalam rangka meng hidupi keluarganya, orang tuanya, anak istrinya, itu semua kata fisabilillah itu dalam rang ka dia berjuang di jalan Allah.
Namun, sebaliknya, orang yang bekerja yang di pikirannya duit saja, hanya ingin memperbanyak uang dan tidak diperguna kan sebaik-baiknya dalam ketaatan kepada Allah, kata Ra sulul lah SAW orang seperti itu adalah fisabili syaiton,dia itu orang-orang yang menempuh jalan setan.