Buya Syafii Maarif, Sejarawan Pemikiran Politik cum Intelektual Publik yang Trendy
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Lebih dari seminggu bangsa Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah, diliputi perasaan duka cita pasca-“kepulangan” Prof. Ahmad Syafii Maarif. Puluhan takziyah virtual digelar berbagai kalangan untuk mengenang beliau. Namun, tidak banyak yang mengingat bahwa Buya Syafii juga berkiprah sebagai sejarawan akademik semasa hidupnya.
Acara diskusi Karya dan Pemikiran Historis Buya Ahmad Syafii Maarif yang diadakan Forum Sejarawan Muhammadiyah semalam (4/6) mengingatkan kita hal tersebut.
Malam itu, Buya Syafii dikenang melalui kacamata intelektual dengan bantuan para tokoh dari berbagai kalangan. Empat orang yang berbicara ialah Prof. Azyumardi Azra, Dr. Sardiman, M.Pd, Prof. Alimatul Qibtiyah, dan Zen RS.
Training akademik yang ditempuh Buya Syafii Maarif memang tidak linier ilmu sejarah di semua jenjangnya. Akan tetapi, justru inilah yang membuatnya memiliki kekayaan perspektif dan kedalaman falsafah. Ini terlihat dari karya disertasinya yang cocok untuk dikategorikan dalam sejarah pemikiran politik. Magnum opus-nya tersebut ditulis dengan melampaui sejarah politik Harun Nasution dan melanjutkan kedalaman berpikir Buyung Nasution yang juga membahas dinamika konstituante.
Hal lain yang menjadikan Buya Syafii tampil sebagai intelektual orisinil adalah keteguhannya dalam melakoni peran sejarawan yang memegang teguh landasan filsafat dan agama. Sebagaimana judul pengukuhan pidato guru besarnya, “Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama”. Hal tersebut diakui oleh seluruh pembicara malam itu.
Pengejawantahan pemikiran tersebut bagi Bu Alimatul terlihat dalam kehidupan sehari-harinya sebagai seorang suami. Bagi Bu Alimatul, kejelasan bayani, irfani, dan burhani Buya Syafii dalam meneguhkan kesetaraan gender di tataran pemikiran sampai pada perilaku kesehariannya. Beliau tidak segan untuk turut mencuci bajunya sendiri dan melakukan pekerjaan domestik lainnya.
Konsistensi dalam merenungi filsafat juga terbaca lewat bagaimana Buya Syafii memakai sejarah sebagai alat mencari kebenaran. Dalam bahasa Pak Sardiman, “memasyarakatkan sejarah”. Jadi, sejarah bukan sekadar narasi gerak waktu tentang pergantian satu penguasa ke penguasa lain. Lebih dari itu, sejarah bersama degan filsafat harus mampu menemukan al-hikmah (Ibnu Khaldun) untuk mengatasi masalah kesenjangan yang terjadi di masyarakat.
Keutamaan pemikiran Buya Syafii pada ilmu sejarah yang memasyarakat juga diamini oleh Zen RS. Sebagai mahasiswanya, Zen mengatakan bahwa aktivisme beliau turut memengaruhi caranya memanifestasikan ilmu sejarah dan filsafat dalam permasalahan kontemporer.
Di satu sisi Buya Syafii adalah sejarawan yang menganggap sejarah sebagai monumental. Pada sisi lain, ia juga mendorong pemakaian pengetahuan sejarah guna merekreasi sejarah secara kritis. Hal ini terlihat dari cara beliau menolak konstruksi sejarah Indonesia ala Nugroho Notosusanto. Namun, Buya Syafii juga masih mencoba mengambil dan mereservasi nilai-nilai mulia dalam proses pendirian Indonesia.
Memang, dalam pelajaran di kelas Filsafat Sejarah yang diampu Buya Syafii semasa mengajar banyak mengenalkan pemikiran Hegel, Arnold Toynbee, Benedetto Croce, Ibnu Khaldun, dan Muhammad Iqbal. Dengan tegas, Buya Syafii juga menolak pandangan sejarah kritis ala Francis Fukuyama yang dianggapnya memakai kerangka Hegel dengan salah.
Bagi Zen RS, pertemuannya dengan Buya Syafii selayaknya, “saya sebagai botol bertemu dengan tutupnya.” Kesenangannya membaca dan atmosfer awal Reformasi yang diwarnai dengan perkembangan diskusi kritis secara masif di Yogyakarta, membuatnya begitu senang dan betah ada di dalam kelas Buya Syafii. “Mengisi minat dan kehausan saya,” begitu kenangnya.
Dalam acara ini juga, pada bagian awal diputarkan kembali rekaman pesan Buya Syafii Maarif sewaktu acara Kongres Sejarawan Muhammadiyah pertama tahun lalu. Di dalamnya Buya Syafii berpesan, meskipun terlambat setelah melewati satu abad Persyarikatan, pembukaan program studi ilmu sejarah dan filsafat masih tetap harus diupayakan. Jangan sampai “penyakit” bangsa ini yang sering menyepelekan dokumen berlarut. (ykk)
Tonton lengkapnya di: