Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi
Buya Ahmad Syafii Maarif adalah manusia penuh keteladanan dan sekaligus membumi. Keteladanannya mudah dicontoh dan diikuti oleh siapa saja tanpa harus bermodalkan ego atau materi duniawi. Bersamanya, anak-anak muda yang hanya memiliki otak dan kecerdasan tak lagi ciut atau gentar menghadapi dunia yang menuhankan gaya hidup hedonistis dan materialistis. Kehidupaannya patut menjadi teladan. Dan saya termasuk yang sangat beruntung dapat bertemu, mengenal, dan belajar langsung kepada Buya meski dalam rentang waktu yang bisa dibilang sangat singkat.
Beruntung bukan selalu tentang mendapatkan nominal uang yang besar, jabatan yang mentereng, atau mendapatkan istri cantik yang pengertian. Beruntung juga ketika nama kita disebut oleh sosok Guru Bangsa, pribadi kita dikenalnya, langkah kita diarahkan, dan kita diberi nasehat yang membangun dan mencerahkan.
Keberuntungan tersebut dimulai ketika saya bergabung sebagai jurnalis di Majalah persyarikatan tertua di Indonesia (Suara Muhammadiyah) pada Desember tahun 2019. Di mana pada waktu itu Buya masih sehat dan tak pernah absen untuk menghadiri rapat redaksi yang diselenggarakan setiap pekan sekali di Grha Suara Muhammadiyah Jalan KH. Ahmad Dahlan No. 107 Yogyakarta. Bertempat di lantai 3 kami berdiskusi panjang tentang berbagai macam persoalan kehidupan, mulai dari masalah kebangsaan, konflik di dunia Islam yang mengorbankan kemanusiaan, hingga masalah internal di tubuh umat Islam Indonesia yang harus segera diselesaikan. “Kita harus menyadari bahwa kita sedang memasuki situasi dimana tidak ada jalan untuk kembali,” ujar Buya.
Bukan tanpa alasan diksi itu Buya pilih dan kemudian diucapkan dengan caranya yang khas. Ada pesan kuat yang ingin Buya sampaikan kepada kita bahwa tidak ada waktu untuk mengeluh atau meratapi segala permasalahan yang sedang menggurita di negeri ini. Menurut Buya, yang seharusnya bangsa ini lakukan adalah mencari solusi dan terus memompa semangat kebersamaan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada satu persatu. “Jangan sampai energi kita habis hanya untuk sesuatu yang tidak penting,” pesannya.
Meski bangsa dan umat ini didera dengan berbagai macam permasalahan, Buya tetap menunjukkan rasa dan sikap optimisnya kepada siapa saja. Mendorong anak muda untuk selalu tampil di depan. Menjadi mundzirul qoum yaitu segolongan umat yang masing-masing individu yang berada di dalamnya berfokus pada suatu bidang secara penuh sehingga dapat menjalankan peran tersebut dengan maksimal. Buya juga mengingatkan anak-anak muda untuk terus membaca dan belajar. Membaca dan belajar adalah aktivitas inti dalam kehidupan seorang Muslim untuk menyebarkan pesan rahmat bagi semesta alam. Di lain waktu, Buya juga selalu menyempatkan untuk mengirim artikel atau buku yang direkomendasikannya untuk dibaca anak-anak muda agar terbuka wawasan dan pemikirannya. “Perluaslah wawasan dan pergaulan, dan jangan mengurung diri,” pesan Buya.
Menurut Buya, orang yang tidak mau memperbaiki diri dengan membaca dan belajar dari sekitar umpama orang yang mempertinggi tempat jautuhnya sendiri. Sehingga Buya dengan getol berusaha menyebarkan semangat literasi kepada kaum muda, karena tidak mau melihat anak-anak muda di negerinya jatuh ke dalam jurang kehinaan, diksi Buya yang menawan untuk menggambarkan situasi semacam ini adalah jangan sampai kita tersungkur di jurang peradaban.
Bebicara tentang kesederhaan, Buya adalah tokoh bangsa yang tidak dapat diungguli oleh siapa pun dalam hal kesederhanaan. Memiliki cara hidup yang jauh dari gaya hidup berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan. Buya adalah sosok yang mandiri dalam menjalani rutinitas sehari-harinya. Apa pun tidak mau dibantu, Buya kalau bawa tas, tidak mau dibawakan, tidak mau dibantu dan lain sebagainya. Sepulang dari rapat pun, ketika hendak membeli suatu barang, Buya berpesan kepada pak Agus, sopir pribadinya dan sekaligus senior saya di redaksi SM untuk mempir ke toko yang diminta. “Gus nanti mampir di apotek yaa”. “Siap Buya,” jawab pak Agus. Sesampainya di tujuan Buya melarang kami untuk turun dari mobil. “Sudah, jangan turun, saya bisa,” tegasnya kepada kami yang saat itu berkesempatan untuk mengantarkan Buya pulang ke rumahnya di daerah Gamping, Sleman.
Pemandangan seperti inilah yang selalu saya jumpai setiap bertemu dengan Buya Syafii Maarif. Secara tidak langsung Buya telah mendidik anak-anak muda untuk bersikap tangguh layaknya kesatria. Tidak mudah mengeluh, mengerjakan sesuatu tanpa merepotkan orang lain, mandiri, konsisten, dan mau untuk terus belajar.
Selain itu Buya juga selalu mengingatkan anak-anak muda agar tidak terjebak kepada kehidupan duniawi yang melenakan. Pesan Buya yang saat mengena bagi saya, “Kuasai dunia, tapi hatimu jangan dilekatkan ke situ.” Diksi ini sangat melekat dengan kehidupan Buya. Tidak berfokus hanya untuk mengejar ambisi dunia, namun juga memikirkan akhirat, rumah kita yang sesungguhnya. Mengutamakan proses daripada hasil. Memperluas pergaulan dengan tidak pilih-pilih teman. Memelihari persaudaraan dengan siapa pun tanpa melihat ras, suku, bangsa, agama, dan golongan. Mencintai perbedaan dan mau saling bekerjasama serta berbagi peran.
Saat ini Buya telah tiada, namun saya yakin semangatnya terus menular ke mana-mana. Buya adalah sumur inspirasi yang tak pernah kering untuk diteladani. Guru bangsa yang perlu untuk digugu dan ditiru kesederhanaan hidupnya, keluasan ilmunya, dan kedalaman cintanya kepada bangsa Indonesia. Semoga Buya husnul khatimah di sisi-Nya.
*Diko Ahmad Riza Primadi, Jurnalis Suara Muhammadiyah