Kamis 19 May 2022 13:15 WIB

80 Persen Anak Perempuan Afghanistan Putus Sekolah

Taliban menutup sekolah menengah untuk anak perempuan sejak mereka merebut kekuasaan.

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
Anak-anak perempuan berjalan ke atas saat mereka memasuki sekolah sebelum kelas di Kabul, Afghanistan, Ahad (12/9). 80 Persen Anak Perempuan Afghanistan Putus Sekolah
Foto:

Pada Maret, dua menteri wanita Muslim, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Wakil Menteri Luar Negeri Qatar Lolwah Al Khater bersama-sama mengadakan pembicaraan dengan penjabat menteri luar negeri Taliban Amir Khan Muttaqi di Doha, di tengah meningkatnya kekhawatiran atas hak-hak perempuan di negara itu. Mereka adalah perwakilan asing pertama yang bertemu dengan seorang pemimpin Taliban sejak kelompok itu melarang para gadis bersekolah.

Pada bulan yang sama, juru bicara kementerian luar negeri Qatar Majed Al-Ansari mengatakan penting bagi Taliban untuk mendengarnya dari dunia Muslim bahwa ajaran Islam tidak membatasi wanita. "Sementara kami memahami sensitivitas di balik janji untuk Afghanistan dalam iklim ini, kami juga menekankan pentingnya tidak mengisolasi Afghanistan lagi. Ini melegitimasi posisi radikal," katanya kepada wartawan pada Maret.

"Kita harus sangat kuat dalam mengutuk dan kita harus sangat jelas dalam berbicara dengan Taliban tentang pelanggaran hak asasi manusia tetapi juga kita tidak boleh meninggalkan Afghanistan. Kami telah meninggalkan Afghanistan sekali, dan kami tahu apa hasilnya,” kata Franchi.

Parvana (14 tahun) dari provinsi Kabul tidak dapat menghadiri sekolah formal karena ketakutan akan kekerasan. Ia menghadiri kelas pendidikan berbasis komunitas yang dikelola oleh Save the Children. 

“Ketika saudara laki-laki saya pergi ke sekolah dan saya sebelumnya tidak bisa, saya merasa tidak enak. Yang saya inginkan hanyalah pergi ke sekolah, belajar, menjadi seseorang di masa depan dan membuat keluarga saya dan orang-orang dari daerah ini bangga," kata Parvana. 

“Pendidikan tidak hanya penting untuk anak perempuan tetapi semua orang harus dididik. Tidak ada orang yang dilahirkan untuk tinggal di rumah. Kami dilahirkan untuk bekerja keras, belajar, dan mencapai tujuan kami," tambahnya. 

“Orang-orang takut ketika transisi kekuasaan terjadi, karena mereka tidak mengizinkan banyak anak perempuan pergi ke fasilitas pendidikan. Bahkan jika mereka diizinkan, anak perempuan terlalu takut untuk pergi ke kelas,” ungkapnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement