Senin 25 Apr 2022 02:15 WIB

Umat Islam Kejar Indonesia Emas 2045

Umat Islam perlu memiliki peta jalan menuju Indonesia emas 2045

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Umat Islam, ilustrasi
Foto:

Umat Muslim di Indonesia, lanjut Sodik, ke depannya perlu memiliki peta jalan minimal berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT). "Berbasis itulah kita membuat roadmap sebagai pegangan kerja kita," ungkapnya.

Sodik juga mengajak umat Muslim untuk bekerja dengan sabar dan tenang serta tidak emosional-reaksioner. Menurutnya, sekarang ini masih banyak kalangan umat Muslim yang bekerja secara emosional-reaksioner. Dia pun menyinggung tidak adanya koordinasi dan sinergi di antara umat Muslim. "Kita teriak persatuan, susah. Teman-teman dari agama lain, mereka memang tidak bersatu tetapi budaya koordinasi dan sinerginya luar biasa," kata dia.

Selain itu, Sodik menambahkan, umat Muslim juga perlu melakukan evaluasi dan realisasi secara bertahap. Jika tidak bisa merealisasikan seluruhnya, maka perlu mengerjakan sebagiannya terlebih dulu. Dia mengingatkan, realisasi secara bertahap bukan bentuk tidak istiqomah, tetapi inilah yang sebaiknya dilakukan.

"Intinya adalah roadmap, pola kerja yang tidak emosional-reaksioner, bekerja secara sistematis, dan bersabar mau bertahap, sistematis," terang anggota DPR RI itu.

Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, yang turut hadir dalam diskusi tersebut, menyampaikan, menjelang Indonesia Emas 2045, umat Muslim di Indonesia dihadapkan pada kondisi di mana tidak terlalu kondusif untuk berkembang. Sebab, saat ini masyarakat Muslim dihadapkan pada keadaan kurangnya ilmu pengetahuan, ekonomi dan lainnya, sehingga ketinggalan di bidang-bidang tertentu.

Dadang juga menyebutkan, sekarang ini majelis-majelis taklim tidak terlalu laku bagi anak-anak muda. Media sosial menjadi tempat belajar mereka kecuali yang menempuh pendidikan di pesantren atau madrasah.

"Yang mereka tahu adalah ustadz-ustadz di media sosial, di mana yang diajarkan itu adalah sesuatu yang ringan tanpa ada rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini melahirkan kedangkalan beragama dan menguatnya formalisme agama. Karena yang penting bagi mereka adalah penyajian yang menarik," ungkap guru besar sosiologi agama UIN Bandung itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement