Jumat 22 Apr 2022 04:20 WIB

Jejak Toleransi Beragama di Tanjungpinang Terlacak Sejak Era Kolonial

Warga etnik Melayu, Jawa, Bugis, dan China hidup berbaur di Tanjungpinang.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Reiny Dwinanda
Toleransi antarumat beragama (ilustrasi). Berbagai etnik dengan agama berbeda hidup berbaur di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, sejak era Hinda Belanda.
Foto:

Menurut Zulfa, adanya toleransi beragama yang merupakan perwujudan dari moderasi beragama ditunjukan saat adanya pembangunan gereja di Tanjungpinang. Pada 14 Februari 1835, ada peletakan batu pertama gereja. Satu tahun kemudian gereja selesai dibangun dan diresmikan. Gereja tersebut dibangun dari sumbangan sukarela anggota jamaat gereja di Keresidenan Riau.

"Menariknya, pihak Kesultanan Riau Lingga melalui Yang Dipertuan Muda Riau, Raja Abdul Rahman, dan Kapitan Tan Hoo yang ada di Tanjungpinang ikut memberikan bantuan uang dan tenaga," ujar Zulfa.  

Zulfa mengatakan, saat pertama kali dibangun, gereja ini digunakan untuk peribadatan orang Belanda dan kerabatnya pemeluk agama Kristen. Dalam perkembangannya, gereja ini jadi gereja Protestan.

Zulfa menjelaskan, dalam upaya menciptakan harmonisasi antarpemeluk agama, pemerintah kolonial Belanda membangun rumah ibadah berdekatan, termasuk juga di Tanjungpinang. Provinsi Kepulauan Riau ini memang termasuk kota kolonial dan kota dagang.

"Gereja Protestan dibangun lokasinya tidak jauh dari Masjid Keling yang sekarang dikenal sebagai Masjid Agung Al Hikmah, dan Klenteng Tien Hou Kong atau Vihara Bahtra Sasana," kata Zulfa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement