Dia menjelaskan, dalam 20 tahun terakhir terlihat kecenderungan melemahnya pernikahan mengalami pasang surut. Sedangkan kecenderungan melonjaknya perceraian konsisten terjadi di sepanjang waktu.
Angka rata-rata pernikahan harian melemah pada tahun 2000-an, terendah 4.537 per hari (2004). Kemudian menguat pada tahun 2010-an, tertinggi 6.356 per hari (2011), dan melemah kembali pada 2020-an, yaitu 4.773 per hari (2021).
"Di saat yang sama, angka rata-rata perceraian harian konsisten melonjak dari hanya 365 per hari pada 2003 menjadi 1.227 per hari pada 2021," jelas Yusuf.
Yusuf berhipotesis bahwa pasang surut jumlah pernikahan dalam 20 tahun terakhir terlihat beriringan dengan kondisi perekonomian.
Pascakrisis ekonomi 1998, jumlah pernikahan menurun, terendah 1,66 juta pada 2004, kemudian menguat seiring pemulihan ekonomi dan commodity boom pada 2010-an. Tertinggi 2,32 juta pada 2011, dan melemah kembali seiring pandemi, yaitu 1,74 juta pada 2021.
Dia menjelaskan, dengan angka perceraian yang konsisten meningkat, rasio pernikahan-perceraian melonjak dari hanya 1: 14,5 pada tahun 2000 menjadi 1: 3,9 pada 2021.
"Bila pada tahun 2000 hanya ditemui 1 perceraian dalam 14,5 pernikahan, maka kini pada 2021 ditemui 1 perceraian hanya dalam 3,9 pernikahan," jelasnya.
Yusuf mengungkapkan, meski tidak sempurna, indikator rasio pernikahan-perceraian memberi gambar besar yang jelas. Yaitu melonjaknya prevalensi perceraian di keluarga Muslim Indonesia.
Dia mengatakan, sejumlah kebijakan dapat didorong untuk memperkuat pernikahan dan menurunkan resiko perceraian seperti, penguatan program pra-pernikahan bagi calon pengantin. Salah satu program pra-pernikahan terpenting adalah pengokohan sistem keyakinan.
"Keyakinan membantu pasangan untuk memberi makna atas setiap situasi krisis yang melanda, memfasilitasi pandangan ke depan yang positif dan optimis, mentransformasi krisis menjadi peluang," kata Yusuf.
Baca juga: Motif Tentara Mongol Eksekusi Khalifah Terakhir Abbasiyah dengan Dilindas Kuda
Menurutnya, memaknai kehidupan sebagai ujian dari Tuhan akan membantu individu untuk memberi respons yang terkendali atas krisis, menurunkan rasa bersalah dan menyalahkan, dan menghapus rasa tidak berdaya, gagal dan putus asa.
"Sumber daya spiritual, yang dominan diperoleh dari aktivitas keagamaan, dapat memberi kekuatan bagi individu untuk menghadapi guncangan, menerima apa yang tidak dapat ditolak, mentoleransi ketidakpastian dan memulihkan diri dari krisis,” jelas Yusuf.