REPUBLIKA.CO.ID, —Jelang Ramadhan, hilal sering menjadi pembahasan. Bahkan metode penetapan hilal baru sebagai pertanda awal bulan Hijriyah menjadi penyebab perbedaan untuk menetapkan hari pertama puasa Ramadhan.
Bagaimana sebenarnya cara melihat hilal dan menentukan awal bulan baru dalam sistem kalender Islam, apakah memang memiliki kesulitan tersendiri?
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika di Pusat Riset Antariksa (BRIN), Thomas Jamaludin, menjelaskan bahwa ada dua cara untuk menentukan awal bulan baru, yakni dengan metode rukyat dan metode hisab.
Rasulullah SAW hanya memberi contoh, tanpa menjelaskan alasan menggunakan rukyat tetapi secara astronomi, rukyatul hilal sangat beralasan. Hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati sesudah maghrib. Itu pasti penanda awal bulan.
Selain itu hilal adalah bukti paling kuat telah bergantinya periode fase bulan yang didahului bulan sabit tua dan bulan mati.
Namun kendala rukyatul hilal adalah masalah kontras antara cahaya hilal yang sangat tipis dan redup dengan cahaya syafak ( cahaya senja ) yang masih cukup terang. Sehingga pengamat hilal membutuhkan filter agar hilal dapat terlihat lebih jelas.
Sedangkan metode hisab berdasarkan perhitungan ilmu falak. Namun menggunakan hisab tidak langsung disepakati harus melakukan verifikasi melalui kriteria.
"Hisab tdk bisa langsung menghitung posisi bulan langsung umumkan, pasti perlu kriteria. Bukan hanya sesama ahli hisab melainkan juga dengan rukyat. Kriteria ini menghasilkan kalender. Kalender pasti perlukan hisab dan kriteria. Hisab ini bisa hitung bahkan ribuan tahun kedepan dan hitung balik peristiwa sejarah masa lalu," ujar dia dalam webinar bincang Astronomi bersama Ikatan Alumni Astronomi ITB dan Republika, Rabu (30/3/2022).
Sesungguhnya ilmu hisab sederhana adalah hisab urfi dengan menghitung sesuai periodik bulan bahwa bulan ganjil itu selalu 30 hari sedangkan bulan genap itu 29 hari seperti, Muharram 30 hari, Safar selalu 29, kecuali ketika tahun kabisat bulan Dzulhijjah yang biasanya 29 hari digenapkan menjadi 30.