REPUBLIKA.CO.ID, KARNATAKA -- Keputusan pengadilan untuk melarang jilbab di sekolah-sekolah di negara bagian Karnataka, India Selatan pekan lalu telah menimbulkan protes keras. Aturan ini menimbulkan pertanyaan tentang batasan baru pada keragaman dan inklusi dalam ruang pendidikan dan kehidupan sehari-hari di negara itu.
Mengingat pluralisme agama di India, banyak yang merasa aturan baru-baru ini melanggar hak orang untuk bebas mengekspresikan diri melalui pakaian. Padahal India merupakan negara dengan keragaman budaya.
"India adalah negara di mana setiap 200 kilometer, bahasa, makanan, dan budaya berubah. Kami adalah negara yang sangat beragam dengan banyak budaya dan praktik. Daripada mengkritik budaya seseorang, kita harus saling mendukung," kata seorang pekerja sosial dari Rajasthan, Savita Gupta, dilansir Deutsche Welle (DW), Rabu (23/3/2022).
"Bagaimana kelompok minoritas dapat dituntut masuk ke dalam tatanan sosial baru yang diinginkan oleh kelas politik?" tambahnya.
Pekan lalu, pengadilan tinggi di Karnataka menegakkan perintah pemerintah yang melarang jilbab di ruang kelas. Mereka secara sepihak memutuskan memakainya bukan bagian integral dari praktik keagamaan dalam Islam.
Keputusan pengadilan dan kontroversi jilbab adalah bagian dari perdebatan budaya yang bergejolak di India mengenai posisi Islam, yang memiliki lebih dari 200 juta pengikut di negara itu. Mereka terkepung dalam lingkungan politik yang semakin didominasi oleh nasionalisme Hindu.
Bulan lalu, protes besar meletus di seluruh negara bagian Karnataka menyusul keputusan pemerintah melarang jilbab di sekolah dan perguruan tinggi. Setelah enam siswa dilarang memasuki sebuah perguruan tinggi di distrik Udupi pesisir Karnataka karena mengenakan jilbab pada 1 Januari lalu, perdebatan tentang hak-hak perempuan Muslim, pluralisme dan sekulerisme telah terjadi di India.