REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri otoritas pendudukan Israel Naftali Bennett berharap akan ada perubahan rezim politik bagi rakyat di negara yang jadi musuh bebuyutannya, Iran. Pernyataan ini dijelaskannya dalam sebuah pesan menandai Tahun Baru Persia atau Nowruz.
"Nowruz secara harfiah berarti 'hari baru. Dan itulah harapan terbesar saya kepada Anda, rakyat Iran, bahwa Anda akan melihat hari baru, hari kebebasan dari rezim Iran yang kejam," katanya dalam pesan video dalam bahasa Inggris dilansir dari The New Arab, Senin (21/3/2022).
Israel menganggap Iran sebagai ancaman eksistensial dan kedua negara telah berselisih sejak Revolusi Islam 1979 yang menggulingkan Shah yang didukung Barat. Pernyataan Bennett juga datang ketika Israel dengan keras menentang kebangkitan kembali kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan kekuatan dunia.
Kesepakatan itu memberikan keringanan sanksi yang sangat dibutuhkan republik itu sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya. Tetapi kesepakatan itu mulai terurai setelah AS secara sepihak menarik diri pada 2018.
Pada Jumat, Bennett telah meminta AS untuk tidak menghapus Garda Revolusi Iran dari daftar hitam organisasi teroris asing sebagai bagian dari kesepakatan baru. "Korps Pengawal Revolusi Islam adalah organisasi teroris yang telah membunuh ribuan orang, termasuk orang Amerika," katanya dalam pernyataan bersama dengan Menteri Luar Negeri Yair Lapid.
Amerika Serikat mengatakan Washington dan Teheran hampir mencapai kesepakatan untuk memulihkan kesepakatan 2015. "Kami hampir mencapai kemungkinan kesepakatan, tetapi kami belum sampai di sana. Kami pikir masalah yang tersisa dapat dijembatani," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price.
Pada pertemuan kabinet Ahad lalu, Bennett mengecam apa yang dia katakan sebagai keinginan untuk menandatangani kesepakatan Iran dengan harga berapa pun. Termasuk mengatakan organisasi teroris terbesar di dunia bukanlah organisasi teroris.
"Itu harga yang terlalu tinggi untuk dibayar," tambahnya.