REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi keuangan syariah Sidiq Haryono menilai Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) perlu mempertimbangkan perluasan investasi pada fasilitas atau instrumen yang berkaitan langsung dengan ibadah haji di Arab Saudi. Menurut dia, investasi dalam valuta asing penting mengingat komposisi biaya haji selama ini tersebar ke dalam beberapa pos pengeluaran di beberapa jasa dan produk di Arab Saudi.
"Untuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan haji, (investasi) dapat dicapai dengan natural currency hedging dan cost hedging," kata Sidiq dalam pernyataan di Jakarta, Selasa (1/3/2022).
Sidiq yang juga ketua umum Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (Fossei) mengatakan, natural currency hedging bisa dilakukan dengan menjaga keseimbangan komposisi jumlah aset produktif investasi BPKH dalam bentuk valuta asing. Hal ini agar sesuai dengan porsi kewajiban BPIH dalam valuta asing, dengan tetap mempertimbangkan nilai manfaat investasi yang optimal.
Sementara itu, cost hedging dapat dilakukan apabila BPKH mampu menjaga variabel yang mempengaruhi struktur biaya haji, seperti kebijakan fiskal di Arab Saudi, volatilitas nilai tukar, inflasi, regulasi pembatasan sosial yang berdampak pada struktur biaya dan biaya lain terkait protokol kesehatan.
Sidiq memproyeksikan, apabila BPKH melakukan investasi di perhajian Arab Saudi sebesar Rp 30 triliun atau sekitar 15 persen dari total kelolaan dana keuangan haji, BPKH bisa memiliki investasi strategis ke sektor usaha. Beberapa di antaranya adalah akomodasi untuk 18.075 kamar hotel, 650 bus, kontrak jangka panjang untuk dua pesawat Boeing 737-800, rumah sakit dan layanan catering untuk 20 juta pack per tahun.
"Dari komposisi investasi tersebut, BPKH berpotensi memperoleh manfaat langsung berupa nilai manfaat dalam bentuk valuta asing dengan return on investment kurang lebih 10 persen sampai 18 persen per tahun, serta memberikan manfaat langsung dalam bentuk efisiensi atas biaya riil haji," katanya.
Selain keuntungan, investasi pada sektor usaha perhajian di Arab Saudi juga bisa memberikan manfaat tidak langsung bagi 1.230 tenaga kerja WNI, peningkatan ekspor Indonesia dari kebutuhan investasi BPKH di Arab Saudi, dan capital inflow yang dapat dikembalikan ke Indonesia.
Keuntungan tidak langsung lainnya, menurut dia, adalah ada potensi perbaikan komposisi neraca perdagangan serta kemudahan bagi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) dan jamaah haji atau umrah Indonesia.
"KBIHU dapat memperoleh akses pelayanan penyelenggaraan umrah dengan harga yang lebih efisien sedangkan jamaah haji atau umrah juga dapat memperoleh pelayanan yang lebih baik dari beberapa jasa dan produk terkait penyelenggaraan haji dan umrah," kata Sidiq.
Selain itu, tambah dia, investasi perhajian di Arab Saudi juga dapat berdampak pada peningkatan kebutuhan pembiayaan di dalam negeri untuk para UMKM atau eksportir, misalnya untuk pembiayaan ekspor bahan baku layanan jasa makanan, pengadaan bus, suvenir, perlengkapan ibadah haji/umroh dan perlengkapan kebutuhan akomodasi hotel. "Ekosistem perhajian tersebut juga dapat dikuatkan dengan menciptakan sistem pembayaran berbasis keuangan syariah dari dalam negeri, dalam mata uang rupiah dan juga memberikan akses pelayanan perbankan syariah nasional untuk membuka jaringan layanan di Arab Saudi," kata Sidiq.
Dengan berbagai perkiraan potensi tersebut, ia mengharapkan BPKH berani melakukan investasi perhajian di Arab Saudi dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip investasi seperti harus sesuai syariah, aman dan kehati-hatian, likuiditas, dan kemanfaatan nilai ekonomi maupun non ekonomi. "Nilai strategis investasi terkait perhajian di Arab Saudi diyakini juga mampu menjaga keberlanjutan keuangan haji dalam jangka panjang," katanya.